Makalah Teori Hukum : KAJIAN NORMATIF, EMPIRIK, DAN POSISI HUKUM AGAMA DALAM RANAH PUBLIK

Pendahuluan

Dalam membahas serta menganalisa sampai tentang Sosiologi Hukum yang secara tidak sadar meresap dan hidup didalam kehidupan masyarakat baik secara internal maupun secara eksternal didalam melakukan interaksi sosial, yaitu dengan menggunakan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum dan Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif adalah yang merupakan standarisasi sebagai objek pokok pembahasan Sosiologi Hukum.

Ilmu hukum merupakan realitas kodrati yang eksis dan tertanamkan di setiap hati nurani manusia dan a priori terhadap segala bentuk perilaku manusia. Sebagai norma kehidupan seperti itu, maka ilmu hukum merupakan ilmu amaliah. Artinya, tidak ada ilmu hukum tanpa diamalkan, dan tidak ada sesuatu amalan digolongkan bermoral kecuali atas dasar ilmu hukum. Dalam perjalanan sejarah yang panjang, moral dan moralitas itu sedikit demi sedikit tereduksi, sehingga dewasa ini kandungan moral dan moralitas dalam ilmu hukum sangat menipis. Perkembangan ilmu hukum menjadi semakin memprihatinkan, ketika moral dan moralitas yang masih tersisa dalam batas minimal tersebut cenderung diputar-balikkan melalui rekayasa atau permainan, sehingga garis batas antara adil atau dzalim, benar atau salah, baik atau buruk, jujur atau bohong dan sebagainya menjadi kabur, kacau dan membingungkan. Hukum pada dirinya sendiri tidak pernah merupakan suatu tujuan, melainkan suatu sarana untuk mencapai suatu tujuan non-yuridikal. Finalitas dari hukum itu tidak yuridikal dan hukum karena itu memperoleh dorongan pertumbuhannya (groei stimulus) dari luar hukum. Faktor-faktor ekstra-yuridika;  memelihara  proses pertumbuhan  dinamikal berlangsung terus. 

Modernitas hukum ternyata tak kuasa menghapus jejak agama dalam perkembangan masyarakat global. Semakin kuat argumentasi untuk menjadikan agama sebagai konsumsi wilayah privat, agama semakin melangkah jauh masuk ke ranah publik. Sebagai sebuah fenomena yang sulit dihindari, peran agama di wilayah publik harus dirumuskan. Di samping sebagai alat pemersatu, argumentasi bagi tindakan bermoral, dan pembawa kedamaian, agama juga bisa menjadi sumber perpecahan, pertikaian, eksklusifitas, dan sumber kemunduran kehidupan dunia. Jika tidak dirumuskan dengan baik, keterlibatan agama dalam kehidupan publik bisa menjadi sangat berbahaya, karena ia adalah kekuatan absolut yang otoriter.

Permasalahan
  1. Berdasarkan karakter, fungsi dan tujuan ilmu hukum, relevankah pertentangan pendapat tentang metode yang harus digunakan dalam ilmu hukum, yakni harus menggunakan metode normatif atau metode empirik (metode ilmu-ilmu sosial) ?
  2. Bagaimanakah pandangan tentang posisi hukum agama dalam ranah publik?
 

PEMBAHASAN

Pertentangan Pendapat Tentang Metode Yang Harus Digunakan Dalam Ilmu Hukum Yakni Harus Menggunakan Metode Normatif Atau Metode Empirik (Metode Ilmu- Ilmu Sosial)

Konflik-konflik antara norma-norma dari suatu moralitas dan norma-norma dari sistem hukum sudah cukup dikenal oleh semua orang, misalnya sebuah norma sosial memerintahkan kepada kita untuk tidak membunuh, sebuah norma hukum memerintahkan kita untuk membunuh orang untuk melaksanakan eksekusi hukuman mati dan musuh dalam perang. Siapapun yang mentaati salah satu dari norma-norma itu melanggar norma yang lainnya. Ia mempunyai pilihan untuk mengikuti (mentaati) yang mana dari keduanya itu dan karena itu akan melanggar yang mana tetapi tidak mempunyai kekuasaan (power) untuk mengabrogasi (membatalkan) keabsahan dari norma yang dipilihnya untuk tidak ditaati. 

Ilmu hukum dipisahkan dari ilmu kognitif yang tugasnya menyelidiki sebab dan akibat peristiwa-peristiwa alam tersebut yang ditafsirkan dengan norma-norma hukum, digambarkan sebagai tindakan-tindakan hukum. Tidak ada keberatan terhadap penggolongan seperti sosiologi penelitian khususnya sosiologi hukum. Sosiologi hukum diarahkan pada beberapa peristiwa yang sungguh terlepas dari hubungan mereka dengan norma yang diakui atau diperkirakan sah. Sosiologi hukum (hukum empirik) menghubungkan fakta-fakta material ini dengan fakta material lain sebagai sebab dan akibat. Sosiologi hukum menanyakan misalnya apa yang mendorong pembuat undang-undang menentukan dengan tepat norma-norma ini dan tidak mengeluarkan norma-norma yang lain, dan menanyakan apa efek regulasinya.

Hukum empirik menanyakan bagaimana imajinasi religius misalnya atau data ekonomi mempengaruhi aktivitas pengadilan atau tidak berperilaku sesuai dengan sistem hukum. Hukum tersebut diselidiki hanya sebagai data material, sebagai fakta kesadaran manusia yang menerbitkan norma-norma hukum atau mematuhinya atau melanggarnya. Objek kognisi semacam itu sebenarnya bukan hukum itu sendiri tetapi beberapa fenomena yang sama di alam. Persoalan yang dibuka disini adalah apakah fenomena sosial bisa dipahami sepenuhnya dari sudut semacam itu ataukah dari sebuah pandangan seperti ini, semua yang berbau sosial harus dilenyapkan dan dihilangkan sama sekali sebagai objek kognisi tertentu karena memang ada banyak yang dikatakan atas nama pernyataan bahwa bidang ideologis yang bertentangan dengan realitas bahwa masyarakat bertentangan sepenuhnya dengan alam, bagaimanapun juga apa yang pasti adalah bahwa dari sudut ini makna spesifik hukum tersebut sepenuhnya hilang. Jika norma atau keharusan makna itu dicabut maka tidak ada makna dalam penegasan bahwa seseorang diperbolehkan menurut hukum, sesuatu dilarang menurut hukum. 

Pertentangan yang sering ditemukan dalam hal mempelajari ilmu hukum menggunakan metode normatif dan metode empirik, namun lebih lanjut dapat diterangkan bahwa kedua metode tersebut tidak dapat dipertentangkan, karena menjelaskan atau mendefinisikan hukum dalam 2 sudut pandang yaitu secara teoritikal dan praktikal.

Ilmu Hukum Praktikal atau Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif) adalah pengembanan hukum teoritikal yang terwujud dalam kegiatan intelektual berupa memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum positif yang berlaku. Tujuannya adalah untuk memungkinkan penerapan dan pelaksanaan hukum didalam praktek dilaksanakan secara lebih bertanggung-jawab.  Ilmu hukum praktikal adalah bentuk pengembanan hukum teoritikal yang benar-benar “praktikal”, artinya relevan untuk pembentukan hukum dan penemuan hukum. Pandangan-pandangan yang berpengaruh dalam kepustakaan hukum sering secara langsung menentukan, dalam arti apa hukum diterapkan dalam praktek hukum. “Ajaran yang berpengaruh” dalam banyak hal dipandang sebagai sumber hukum. Tidaklah tepat, setidak- tidaknya sejauh yang menyangkut ilmu hukum praktikal untuk memisahkan secara tajam antara ilmu dan praktek. Hal memaparkan (het beschrijven) dalam ilmu dan hal mewajibkan (het voorschrijven) didalam praktek berjalan saling berimpitan (Paul Scholten dalam Algemeen Dell).  

Pengembanan hukum teoritikal (empirik) atau fleksibel tentang hukum adalah kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual atas hukum atau pemahaman tentang hukum secara ilmiah yakni secara metodik sistematik-logik rasional. Berdasarkan tataran analisisnya (level of analysis) atau berdasarkan tingkat abstraksinya, pengembanan hukum teoritikal dibedakan kedalam tiga jenis. Pada tataran ilmu-ilmu positif, yang paling rendah tingkat abstraksinya disebut ilmu-ilmu hukum. Pada tataran yang lebih abstrak disebut teori hukum dan pada tataran filsafat yang abstraksinya lebih tinggi disebut filsafat hukum yang meresapi semua bentuk pengembanan hukum teoritikal (empirik) dan praktikal (normatif).  
Menurut Teori hukum empirik bahwa ilmu hukum dalam berbagai bentuknya harus diemban sebagai suatu ilmu empirik yang membedakan secara tajam antara fakta-fakta dan norma-norma, antara keputusan-keputusan (proposisi) yang memaparkan (deskriptif) dan yang normatif (preskriptif). Gejala-gejala hukum dipandang sebagai gejala-gejala empirikal yang murni yang harus dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode-metode empirikal yang mengandung arti bahwa hukum itu dipaparkan, dianalisis dan terutama juga dijelaskan. Jadi, ilmu empirik itu berbicara dalam keputusan-keputusan deskriptif tentang gejala-gejala hukum yang untuk sebagian juga tampil dalam keputusan-keputusan preskriptif. Dari karakteristik ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembanan ilmu hukum Empirik harus dipandang sebagai positivis hukum. Bukankah memandang hukum sebagai suatu fakta yang dapat dikonstatasi dan berpendapat bahwa dalam mempelajarinya harus setajam mungkin dijauhkan dari penilaian pribadi, panorama atau kritik. Ilmu hukum empirik sungguh-sungguh sudah menyatakan segala-galanya, mencakup dengan memberikan suatu pemaparan dari gejala-gejala hukum. Ilmu empirik memang dapat ex post memberikan suatu penjelasan yang bermakna tentang gejala hukum yang diinterpretasi secara faktual), tetapi bahwa refleksi-refleksi ini untuk masa depan memiliki hanya suatu makna yang terbatas dan tetap menjadi dalil bahwa aksen dari karya yuridis justru terletak pada dimensi ex ante ini. 

Posisi Hukum Agama Dalam Ranah Publik

Pembinaan kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat itu perlu dikembangkan, baik melalui saluran pendidikan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya maupun melalui saluran media komunikasi massa dan sistem informasi yang menunjang upaya pemasyarakatan dan pembudayaan kesadaran hukum yang luas. Sudah saatnya semua pihak menanamkan keyakinan yang sunguh-sungguh mengenai pentingnya menempatkan hukum sebagai “kalimatun sawa” atau ‘pegangan normatif’ tertinggi dalam kehidupan bersama. Pengakuan terhadap sistem Hukum Agama, terutama hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum nasional, akan berdampak sangat positif terhadap upaya pembinaan hukum nasional. 

Setidak-tidaknya, dapat dipastikan bahwa di kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai-nilai Islam, kesadaran kognitif dan pola perilaku mereka dapat dengan mudah memberikan dukungan terhadap norma-norma yang sesuai dengan kesadaran dalam menjalankan syari’at agama. Dengan demikian, pembinaan kesadaran hukum masyarakat dapat lebih mudah dilakukan dalam upaya membangun sistem supremasi hukum di masa yang akan datang. Hal itu akan sangat berbeda jika norma-norma hukum yang diberlakukan justru bersumber dan berasal dari luar kesadaran hukum masyarakat.

Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan Indonesia. Namun, prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja, maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan dalam prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan dalam penyelenggaraan negara berupa produk-produk hukum tertinggi, yang akan menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan sistem hukum nasional. MPR-lah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional.

Dari perspektif Hukum Islam, proses pemikiran demikian dapat dikaitkan dengan pemahaman mengenai konsep ‘theistic democracy’ yang berdasar atas hukum ataupun konsep ‘divine nomocracy’ yang demokratis yang berhubungan erat dengan penafsiran inovatif terhadap ayat al-Quran yang mewajibkan ketaatan kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada ‘ulul amri’. Karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Hukum Islam dalam kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia sangat kuat kedudukannya, baik secara filosofis, sosiologis, politits, maupun juridis. Meluasnya kesadaran mengenai reformasi hukum nasional dewasa ini justru memberikan peluang yang makin luas bagi sistem Hukum Islam untuk berkembang makin luas dalam upaya memberikan sumbangan terhadap perwujudan cita-cita menegakkan supremasi sistem hukum sesuai amanat reformasi. 

Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek- aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu. Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu. Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan itu terjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas- asasnya. hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu? Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang peribadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa sholat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam. 

Menurut Yusril Ihza Mahendra “Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat”. 

Tidak hanya dalam Islam, dalam agama lainpun berperan dalam hukum, baik dimasa raja- raja kuno maupun dalam dunia modern. Sejarah perkembangan ilmu hukum telah menorehkan catatan penting bahwa semasa Teori Hukum Alam berjaya, qalbu diposisikan lebih tinggi dari akal. Teori ini menempatkan wahyu secara “terberi”, sebagai kekuasaan spiritual dari hukum Tuhan, dan berada di atas semua perundang-undangan lainnya. Dominasi qalbu atas akal memang terbukti telah menghasilkan kemajuan spiritual, akan tetapi terbelakang dalam bidang materi, fisik dan kebutuhan lahiriah. Dominasi qalbu atas akal dapat membawa manusia kepada kemajuan rohaniah, tetapi tidak jarang dapat mengakibatkan manusia terjerumus kepada dunia mistik yang berlebihan dan menyesatkan. Secara sosio-historis, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja-raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) telah mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan hukum agama. Mulai dari urusan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, seni sampai dengan teologi dan sains, keseluruhannya harus mengikuti ketentuan apa yang dituntunkan gereja. 

Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia. sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis atau sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi, seperli terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat atau kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukum Islam.
 

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dan penjelasan diatas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa :

Ilmu Hukum Normatif atau Ilmu Hukum Partikal atau Ilmu hukum Positif atau Ilmu Hukum Dogmatik adalah mempelajari hukum positif yang berlaku disuatu wilayah negara tertentu melalui pendekatan perspektif internal yaitu mempelajari hukum dengan bertolak pada titik berdiri partisipasi seseorang didalam hukum yang didalaminya. Fokus perhatian metode normatif ialah pada hukum yang berlaku sebagai das sollen-sein yaitu hukum sebagai suatu sistem keharusan (das sollen) yang berakar pada kenyataan kemasyarakatan (das sein) dan diarahkan untuk menata dan mengatur kemasyarakatan itu (das sein). Ilmu Hukum Empirik adalah kegiatan ilmiah guna mempelajari hukum dari segi pendekatan eksternal, yaitu mempelajari hukum dari sisi pengamat yang mengamati perilaku para warga dan pejabat masyarakat berkenaan dengan berlakunya hukum di dalam masyarakat. Objek telaahnya adalah hukum sebagai Sein-Sollen yaitu hukum tampil dalam perilaku orang dalam kemasyarakatan (das sein) berkenaan dengan ada dan berlakunya kaidah-kaidah hukum positif (das sollen). Metode yang digunakan adalah metode ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan yang menggambarkan keadaan sebagaimana adanya. Diperlukan suatu kesadaran bahwa jika hanya ada satu jenis penelitian, maka itu baru dilakukan kegiatan ilmiah yang belum lengkap. Melihat hukum hanya dari sisi normatifnya saja tentu tidak bisa menggambarkan fakta empiriknya. Demikian juga melihat hukum dari sisi gejala kemasyarakatan tidak bisa menggambarkan hukum sebagai sistem atau tata norma yang positif, sebab ia hanya berhenti kepada deskripsi gejala-gejala saja.

Hukum agama memiliki potensi dan peranan yang sangat penting dalam ranah publik dan hukum nasional Indonesia. Pengakuan terhadap sistem Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem hukum nasional, akan berdampak sangat positif terhadap upaya pembinaan hukum nasional. Setidak-tidaknya, kita dapat memastikan bahwa di kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai-nilai Islam, kesadaran kognitif dan pola perilaku mereka dapat dengan mudah memberikan dukungan terhadap norma-norma yang sesuai dengan kesadaran dalam menjalankan syari’at agama. Dengan demikian, pembinaan kesadaran hukum masyarakat dapat lebih mudah dilakukan dalam upaya membangun sistem supremasi hukum di masa yang akan datang. Hal itu akan sangat berbeda jika norma-norma hukum yang diberlakukan justru bersumber dan berasal dari luar kesadaran hukum masyarakat. Terlepas dari semua teori-teori mengenai hubungan hukum agama dalam ranah publik, bahwa agama adalah filosofi dasar bagi setiap orang untuk bertindak, terlebih dalam hukum, walaupun hukum dan peraturan dibuat sebaik dan selengkap mungkin namun apabila masyarakat ataupun para wajib hukum tidak memiliki landasan mental keagamaan yang kuat dalam dirinya, maka akan ada “seribu akal” untuk dapat melanggar hukum baik yang disadarinya maupun tidak. Agama adalah dasar yang amat penting dalam menjalani kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Jan Gijssels, Mark Van Hoecke, Wat Is Rechtsteorie?, 1982 diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Apakah Teori Hukum itu?, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 2001, hlm. 13. 
  • Kelsen, Hans, Essays In Legal And Moral Philosophy, alih bahasa oleh B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, Alumni, Bandung, cet ke-3, 2006, hlm. 39-40. 
  • Meuwissen, Pengembanan Hukum, handout mata kuliah Teori Hukum oleh B. Arief Sidharta, Magister Ilmu Hukum, Universitas Langlangbuana, Bandung, hlm. 4. 
  • Jimly Asshiddiqie, dalam makalah seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional berjudul Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September, 2000, http://www.unissula.ac.id/mh/file/j011.doc. diakses pada tanggal 13 Juni 2014 Pukul 09.45 WIB. 
  • Yusril Ihza Mahendra, Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia, Yusril Ihza Mahendra.html, www.google.com, diakses pada 13 Juni 2014 Pk 09.25 WIB.
  • Al-Ghazali Mus, Implementasi Moral Kedalam Sistem Ilmu Hukum, www.badilag.net, hlm. 8, diakses pada tanggal 13 Juni 2014 Pukul 09.15 WIB

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Makalah Teori Hukum : KAJIAN NORMATIF, EMPIRIK, DAN POSISI HUKUM AGAMA DALAM RANAH PUBLIK"

Posting Komentar