Pendahuluan
Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, termasuk peningkatan di bidang ekonomi dan keuangan. Peningkatan di bidang ekonomi tersebut tentu juga membawa pengaruh yang besar terhadap peningkatan kegiatan perbankan. Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi secara umum dan juga pertumbuhan ekonomi masyarakat, Bank yang melaksanakan fungsinya sebagai lembaga intermediasi telah hadir sebagai lembaga keuangan yang bukan saja memperbaiki perekonomian masayarakat, kehadiran Bank dalam mendukung peningkatan perekonomian tentunya berupa penyaluran kredit terhadap usaha rakyat, baik itu usaha dalam segmentasi UMKM maupun segmentasi korporasi, consumer, dan sebagainya.
Asas prudential dalam penyaluran kredit sudah tentu menjadi salah satu faktor utama yang perlu diperhatikan untuk menjaga performance bank itu sendiri. Tahap demi tahapan proses kredit harus dilalui dengan baik sampai pada proses pengikatan kredit yang dituangkan dalam Perjanjian Kredit. Setiap Bank tentunya dapat mempunyai produk kredit yang berbeda dengan ketentuan yang berbeda dalam produk kredit tersebut. Bagaimanapun struktur suatu kredit dibuat berikut ketentuannya, bank pada dasarnya hanya menghendaki kondisi yang aman dan kuat di mata hukum dalam kredit yang disalurkan.
Untuk mewujudkan kondisi yang aman dan kuat di mata hukum tersebut terkadang berbentutan dengan tingginya cost atau biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itu, terkadang perbankan melakukan terobosan-terobosan dengan tujuan untuk meringankan beban biaya kredit yang timbul baik bagi debitur maupun pihak perbankan itu sendiri. Pengurangan beban biaya bagi perbankan dilakukan dengan tujuan memupuk keuntungan, sedangkan pengurangan biaya kredit bagi debitur dilakukan dengan tujuan untuk menarik minat debitur untuk memperoleh kredit dengan biaya yang ringan, misalnya untuk kredit dengan nominal sampai dengan Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), beberapa bank tidak lagi membuat surat pengakuan utang dalam bentuk akta notariil melainkan hanya dibuat secara dibawah tangan antara bank dengan debitur. Dengan berkurangnya biaya pembuatan akta tersebut, diharapkan dapat meningkatkan loyalitas debitur kepada pihak perbankan yang telah memberikan kredit dengan biaya ringan, sehingga diharap akan semakin banyak transaksi yang dilakukan oleh debitur melalui bank tersebut yang dengan demikian dapat meningkatkan fee based income bagi pihak perbankan.
Meskipun dengan demikian kekuatan pembuktian surat pengakuan utang menjadi tidak sempurna karena dibuat dibawah tangan, namun hal tersebut dapat diantisipasi oleh bank dengan melakukan alternatif penyelesaian kredit bermasalah melalui gugatan sederhana berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Penyelesaian kredit bermasalah melalui gugatan sederhana tersebut dinilai sangat menguntungkan bagi pihak perbankan karena prosesnya hanya memakan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak siding hari pertama, sehingga selain cepat juga ringan biayanya dibandingkan dengan penyelesaian perkara dengan acara pemeriksaan perdata biasa.
Terobosan yang demikian juga dilakukan oleh pihak perbankan terhadap penyelesaian kredit bermasalah dengan jaminan deposito. Salah satu keuntungan bagi debitur yang menggunakan jaminan deposito sebagai jaminan kredit antara lain adalah penetapan suku bunga kredit yang lebih rendah dari pada menggunakan asset tetap sebagai jaminan. Hal tersebut mengingat bahwa jaminan deposito merupakan salah satu bentuk jaminan cash collateral yang risikonya lebih rendah dari pada jaminan dalam bentuk asset tetap.
Untuk memperoleh kredit dari bank seseorang debitur harus melalui beberapa tahapan, yaitu mulai dari tahapan pengajuan aplikasi permohonan kredit sampai dengan tahap penerimaan kredit, setelah permohonan kredit diterima, selanjutnya dibuatlah perjanjian kredit antara bank dengan debitur yang biasa disebut dengan perjanjian hutang piutang. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok (prinsipiil) yang bersifat riil, arti riil disini adalah terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debiturdisamping perjanjian kredit, antara bank dengan nasabah debitur juga dibuat perjanjian pengikatan jaminan.
Deposito merupakan bentuk piutang, sehingga dapat dikategorikan sebagai benda bergerak tidak berwujud dan keberadaannya yang tidak mempengaruhi proses usaha (sifatnya sebagai investasi), maka pengikatan jaminan terhadap deposito dapat dilakukan secara gadai. Pengikatan jaminan deposito tidak mungkin untuk dilakukan secara fidusia, dimana akan sangat berisiko bagi bank apabila penguasaan deposito yang merupakan salah satu aset liquid (mudah dicairkan) tersebut berada pada debitur.
Selanjutnya, terkait ketentuan eksekusi gadai sebagai pelaksanaan hak kreditur untuk menuntut debitur agar memenuhi kewajibannya melalui jaminan gadainya diatur dalam KUHPerdata hanya diatur 2 (dua) mekanisme, yaitu melalui penjualan dihadapan umum/parate executie (Pasal 1155) dan melalui putusan pengadilan/titel eksekutorial (Pasal 1156). Namun demikian, sepertinya kedua mekanisme eksekusi gadai tersebut tidak relevan untuk diterapkan dalam eksekusi jaminan deposito terhadap kredit perbankan. Pihak perbankan lebih cenderung menggunakan alternatif penyelesaian kredit melalui mekanisme pelaksanaan surat kuasa pencairan yang dibuat pada awal pengikatan kredit. Pelaksanaan pencairan deposito berdasarkan surat kuasa pencairan sebagai alternatif penyelesaian kredit tersebut dapat dikatakan diluar ketentuan eksekusi gadai yang diatur dalam KUHPerdata. Ditemukannya fakta terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan gadai deposito (sebagai upaya penyelesaian kredit) yang tidak sesuai dengan ketentuan eksekusi gadai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (KUHPerdata) dipandang perlu dilakukan kajian lebih lanjut berdasarkan teori positivisme hukum.
Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Dalam pandangan positivis, tidak ada hukum lain, kecuali perintah penguasa. Bahkan, bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan Undang-Undang. Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat. Termasuk dalam aliran ini ajaran Analytical Jurisprudence yang dikemukakan oleh John Austin. Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah Law is a command (hukum merupakan perintah dari penguasa).
Aliran Analytical Legal Positivism atau Analytical Jurisprudence hukum yang dipelopori oleh Jhon Austin menyatakan satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu Negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan tidak adil.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang “Kekuatan Hukum Surat Kuasa Pencairan Sebagai Upaya Perlindungan Perbankan Terhadap Penyelesaian Kredit Dengan Jaminan Gadai Deposito” dengan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
“Bagaimanakah kekuatan hukum terhadap surat kuasa pencairan yang diberikan oleh debitur terhadap jaminan deposito yang telah diikat secara gadai, ditinjau dari teori positivisme hukum?”
PEMBAHASAN
Tinjauan Umum Surat Kuasa Pencairan Sebagai Suatu Perjanjian
Surat kuasa secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kesepakatan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, dimana pemberi kuasa memberikan wewenang kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu urusan tertentu. Pemberian kuasa diatur di dalam Buku III Bab XVI mulai dari Pasal 1792 sampai Pasal 1819 KUHPerdata, sedangkan kuasa (volmacht) tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata maupun di dalam perundang-undangan lainnya, akan tetapi diuraikan sebagai salah satu bagian dari pemberian kuasa. Pasal 1792 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberi kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Didasarkan kepada hal tersebut dapat dilihat, bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah:
- Persetujuan
- Memberi kekuasaan kepada penerima kuasa
- Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan.
Sedangkan menurut Subekti mendefinisikan surat kuasa merupakan perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa atau perjanjian pemberian kuasa, yang mana seseorang memberikan kekuasaan atau kewenangan kepada orang lain yang menerimanya, untuk dan atas namanya melaksanakan atau mengerjakan sesuatu urusan, maksud melaksanakan atau mengerjakan sesuatu urusan adalah melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang mempunyai akibat hukum atau melahirkan suatu akibat hukum.
Berdasarkan uraian diatas, secara sederhana surat kuasa pencairan dapat didefenisikan sebagai perjanjian pemberian kuasa dari pemilik deposito kepada pihak perbankan sebagai penerima kuasa, untuk melakukan pencairan atas deposito yang dijaminkan, dalam hal ini bank sebagai penerima kuasa bertindak untuk dan atas nama pemilik deposito sebagai pemberi kuasa. Dengan demikian, surat kuasa pencairan termasuk perjanjian, yaitu perjanjian pemberian kuasa.
Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pendapat lain dikemukakan oleh Rutten dalam Prof. Purwahid Patrik yang menyatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik.
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian terdapat beberapa unsur yaitu:
- Ada pihak-pihak. Pihak di sini adalah subjek perjanjian sedikitnya dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang.
- Ada persetujuan antara pihak-pihak, yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan.
- Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan para pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
- Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, oleh pihakpihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
- Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
Dengan termasuknya surat kuasa sebagai suatu bentuk perjanjian, hal tersebut memberikan konsekuensi bagi surat kuasa harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata. Hal tersebut dapat diartikan bahwa sepanjang ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata terpenuhi, maka surat kuasa pencairan tersebut sah sebagai sebuah perjanjian antara para pihak, baik berbentuk akta dibawah tangan maupun berbentuk akta autentik.
Adapun untuk sahnya suatu perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata diperlukan empat syarat , yaitu:
Sepakat mereka yang mengikat dirinya. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas yang esensial dari hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas Konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian. Asas Konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti “kemauan” para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri.
Kecakapan diperlukan untuk membuat suatu perjanjian. Mengenai kecakapan, Subekti menjelaskan bahwa seseorang adalah tidak cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri persetujuan-persetujuan dengan akibat-akibat hukum yang sempurna. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.
Suatu hal tertentu. Ini dimaksudkan bahwa hal tertentu adalah objek yang diatur dalam perjanjian kredit tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi objek perjanjian, tidak boleh samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada para pihak dan mencegah timbulnya perjanjian kredit yang fiktif.
Suatu sebab yang halal. Ini dimaksudkan bahwa isi perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan, yang bersifat memaksa, mengganggu/ melanggar ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan
Kedudukan Hukum Surat Kuasa Pencairan Dalam Ketentuan Jaminan Gadai
Sebelum membahas lebih lajut terkait kedudukan hukum surat kuasa pencarin terhadap ketentuan jaminan gadai, terlebih dahulu penting diketahui ketentuan-ketentuan gadai yang mengikat jaminan deposito tersebut. Pelaksanaan pengikatan jaminan deposito secara gadai harus dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku agar pelaksanaan gadai tersebut sah dan menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Gadai sebagai salah satu bentuk pengikatan jaminan diatur dalam Bab XX Buku II KUHPerdata, yaitu pada Pasal 1150 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, pada dasarnya mengatur bahwa gadai adalah suatu hak jaminan kebendaan atas benda bergerak tertentu yang diserahkan kepada kreditur dengan tujuan tidak untuk memberi kenikmatan atas benda tersebut melainkan untuk memberi jaminan bagi pelunasan utang debitur.
Hak gadai memberikan kedudukan diutamakan (droit de preference) kepada kreditur (pemegang gadai) sebagaimana ketentuan Pasal 1133 Jo Pasal 1150 KUHPerdata, yang mengatur sebagai berikut :
“Hak untuk didahulukan di antara para kreditur bersumber pada hak istimewa pada gadai dan pada hipotek.” (Pasal 1133 KUHPerdata)
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; …...” (Pasal 1150 KUHPerdata)
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dengan memegang jaminan gadai atas deposito, bank memegang hak istimewa (hak preferensi) untuk mengambil pelunasan piutangnya dengan mendahalui kreditur-kreditur lainnya. Hal tersebut sangat penting dalam penyaluran kredit perbankan sebagai mitigasi risiko terhadap kemacetan kredit.
Selanjutnya, ketentuan eksekusi gadai sebagai pelaksanaan hak kreditur untuk menuntut debitur agar memenuhi kewajibannya melalui jaminan gadainya diatur dalam KUHPerdata yaitu yaitu melalui penjualan dihadapan umum/parate executie (Pasal 1155) dan melalui putusan pengadilan/titel eksekutorial (Pasal 1156). Dalam Pasal 1155 KUHPerdata tersebut mengatur bahwa bila tidak disepakati lain oleh para pihak, jika debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, maka kreditur berhak untuk menjual barang gadainya dihadapan umum menurut kebiasaan setempat dengan persyaratan yang lazim berlaku (parate executie).
Hak kreditur untuk melakukan penjualan dihadapan umum (lelang) tersebut berdasarkan kekuasaanya sendiri yang dimiliki sebagai pemegang hak gadai atas suatu benda, sehingga kreditur tidak perlu meminta putusan pengadilan untuk melakukan lelang terhadap benda yang telah digadaikan kepadanya. Hak parate executie ini diberikan oleh undang-undang atau demi hukum dan tidak perlu diperjanjikan terlebih dahulu kepada kreditur pemegang gadai. Namun demikian, ketentuan Pasal 1155 KUHPerdata tersebut tidak berlaku secara mutlak dalam perjanjian gadai, ketentuan tersebut dapat tidak berlaku apabila para pihak menegaskan untuk menyimpangi atau tidak menyepakati hal tersebut, dengan konsekuensi kreditur kehilangan hak untuk melakukan penjualan dimuka umum berdasarkan kekuasaannya sendiri atas benda yang digadaikan tersebut.
Eksekusi benda gadai melalui parate executie tersebut kurang relevan utuk diterapkan dalam hal obyek gadai berupa deposito yang berupa piutang atas nama dimana kepemilikannya dibuktikan melalui bilyet deposito, dimana bank tidak mungkin akan memperjualbelikan bilyet deposito nasabahnya dihadapan umum.
Dalam hal mekanisme penjualan dihadapan umum tersebut tidak mungkin untuk dilakukan terhadap obyek gadai atau ternyata dalam pelaksanaannya terdapat kendala yang berarti (misalnya kesulitan memperoleh harga pasar, kesulitan mendapatkan pembeli, dan/atau kesulitan lainnya) atau para pihak memang telah sejak awal sepakat untuk menyimpangi ketentuan tersebut, maka dalam Pasal 1156 KUHPerdata telah diatur mekanisme lain untuk melakukan eksekusi terhadap benda gadai tersebut.
Menurut Pasal 1156 KUHPerdata pemegang gadai dapat menempuh jalan lain, yaitu meminta kepada hakim, supaya hakim menetapkan cara bagaimana penjualan itu dilakukan.
Didalam Pasal 1156 ayat (1) KUHPerdata diberikan 2 (dua) sarana yang berbeda dan harus dibedakan, yaitu:
Kreditur bisa menuntut di muka hakim supaya barang gadainya dijual menurut cara yang ditentukan oleh hakim (untuk melunasi hutang beserta bunga dan biaya). Dengan perkataan lain, kreditur meminta agar pengadilan menetapkan suatu cara penjualan benda gadai yang bersangkutan.
Hakim atas tuntutan si berpiutang, dapat mengabulkan agar barang-barang gadainya akan tetap pada si berpiutang untuk suatu jumlah yang ditetapkan dalam suatu putusan hingga sebesar hutangnya beserta bunga dan biaya. Atau dengan perkataan lain, memohon agar kreditur, dengan perhitungan sejumlah uang yang ditetapkan oleh pengadilan, boleh memiliki benda gadai.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1156 KUHPerdata tersebut berarti membuka kemungkinan bagi kreditur melalui pengadilan atau izin hakim, memiliki benda gadai yang telah dikuasainya dengan harga yang ditentukan oleh hakim atau melalui penjualan di bawah tangan atau private selling (sebagai lawan dari penjualan dimuka umum).
Mekanisme permintaan izin hakim untuk memliki benda gadai (dalam hal ini deposito) memang terlihat lebih relevan daripada pelaksanaan penjualan dihadapan umum, namun mekanisme tersebut pada kenyataannya menimbulkan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut menjadi tidak sejalan dengan usaha bank untuk meningkatkan keuntungan/laba perusahaan, dimana salah satunya dilakukan dengan penekanan terhadap biaya. Dengan penetapan bunga yang lebih rendah daripada kredit dengan jaminan aset lainnya, akan sangat merugikan bagi bank apabila setiap eksekusi jaminan deposito harus mengeluarkan biaya untuk memperoleh putusan hakim/pengadilan.
Mengingat kedua mekanisme eksekusi gadai tersebut tidak relevan untuk diterapkan dalam eksekusi jaminan deposito, maka alternatif yang diambil oleh pihak perbankan adalah dengan menggunakan surat kuasa pencairan. Apabila debitur wanprestasi maka eksekusi terhadap jaminan deposito yang digadaikan tersebut dilaksanakan dengan berdasarkan surat kuasa pencairan yang telah diberikan oleh debitur/pemberi gadai kepada bank untuk mencairkan deposito yang digadaikan, kemudian hasil pencairan deposito tersebut selanjutnya diperhitungkan dengan kewajiban debitur yang harus diselesaikan kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit.
Kekuatan Hukum Surat Kuasa Pencairan Ditinjau Dari Teori Positivisme Hukum
Hukum adalah perintah penguasa negara. Begitulah gagasan pokok John Austin terhadap dalam pemikiran legal positivism. John Austin, ahli filsafat hukum Inggris, secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokoknya tentang hukum dituangkan terutama dalam karyanya berjudul The Province of Jurisprudence Determined(1832). Dalam pandangannya tersebut, Austin membedakan dua jenis hukum menjadi hukum yang dibuat oleh Tuhan untuk orang-orang yang patuh dan hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia. Tentang hukum buatan manusia, Austin menggolongkan lagi dalam dua kategori, yaitu: (1) Hukum Positif, yaitu hukum yang dibuat oleh pembuat hukum (penguasa yang berdaulat). (2) Moralitas Positif, yakni hukum yang dibuat oleh kelompok atau organisasi non negara yang berlaku bagi kelompok/organisasi yang bersangkutan, seperti peraturan dalam perkumpulan kesukuan, keagamaan, olahraga dan lain-lain. Kedua-duanya merupakan hasil ciptaan manusia yang bersifat valid dan non-transenden.
Pemikiran tentang positivisme hukum tentu tidak berhenti ditangan John Austin. Suntikan modernitas serta era aufaklarung membuat positivisme hukum mendapatkan tempat tersendiri. Berangkat dari dasar pemikiran John Austin yang menyatakat bahwa hukum merupakan komando dari penguasa yang berdaulat, H.L.A. Hart menangkap adanya kelemahan dari pemikiran John Austin tersebut. Hart melihat adanya kemungkinan kesewenang-wenangan dari otoritas yang melahirkan hukum untuk tidak taat atau tunduk kepada hukum yang dibuatnya. Hart menyatakan bahwa hukum harus dilihat sebagai sebuah sistem peraturan yang mengatur.
Hart sepakat dengan pandangan Austin yang memisahkan hukum dan moral. Akan tetapi Hart memiliki sejumlah catatan perbaikan. Menurut Hart, moral menjadi syarat minimum dalam hukum. Hart sepertinya menyadari bahwa positivisme hukum mengalami ketertinggalan dari realitas sosial. Terhadap berbagai keterbatasan manusia tersebut, hukum memiliki tanggungjawab (beban moral) untuk berfungsi sebagai sistem aturan yang melindungi, mengontrol, mencegah, memfasilitasi, dan memandu kehidupan manusia agar terciptanya kehidupan tertib di tengah-tengah keterbatasan natural itu. Selain itu hukum juga memiliki kewajiban moral untuk mengambil tindakan-tindakan diskresional sebagai jalan keluar dari keterbatasan hukum yang ada.
Keberlanjutan positivisme hukum dalam pemikiran Hart tidak terlepas dari kritik. Hart yang memandang hukum sebagai sistem aturan (hukum primer dan hukum sekunder) ternyata lebih menekankan terhadap aspek formalistik hukum itu sendiri. Berangkat dari kenyataan tersebut, Hans Kelsen muncul melahirkan pemikiran baru tentang positivisme hukum. Kelsen muncul dengan dua maha karya The General Theory Law and State dan The Pure Theory of Law. Kelsen menentang pandangan Hart dan Austin yang menitik beratkan hukum kepada aspek sanksi. Awal mulanya Kelsen melihat hukum sebagai sebuah tatanan yang merupakan obyek dari pengetahuan ini merupakan tatanan norma perilaku manusia-sebuah sistem norma yang mengatur perilaku manusia. Yang dimaksud dengan “norma” adalah sesuatu yang seharusnya ada atau seharusnya terjadi, khususnya bahwa manusia seharusnya berperilaku dengan cara tertentu.
Kelsen melihat ketidak sempurnaan Austin (hukum sebagai komando) dan Hart (hukum sebagai sebuah sistem aturan) dalam merumuskan hukum positif sebagai sebuah struktur norma. Sehingga Kelsen melahirkan teori yang melihat hukum sebagai sebuah sistem hierarkis. Kelsen menamai puncak tertinggi dari hierarkis tersebut dengan sebutan Groundnorm. Groundnorm sebagai puncak tertinggi merupakan acuan dari segala sumber hukum dibawahnya baik yang akan dibentuk atau yang sedang berjalan. Tatanan hukum bukanlah sebuah sistem norma yang terkordinir yang berkedudukan sama, melainkan sebuah hierarki norma hukum dengan berbagai jenjang.
Positivisme hukum hadir memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum. Ini tentumenghindari adanya disparitas atas memandang sebuah kejahatan serta standar nilai yang sama untuk menjawab sebuah persoalan. Hans Kelsen dalam pandangan hukumnya berhasil “mematematiskan” rumusan sebuah aturan hukum dalam bentuk, subjek hukum ditambah bentuk kesalahan yang menghasilkan adanya hukuman. Meskipun, sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas sangat berguna yang dapat digunakan oleh para praktisi atau analis hukum untuk mengidentifikasi pokok persoalan dari penyelidikannya tetapi ia mengarahkan menjauh dari gagasan bahwahukum itu terdiri dari proses-proses yang terkait dengan manusia.
Tinjauan Positivisme Hukum Terhadap Pembuatan Surat Kuasa Pencairan
Untuk itu, KUHPerdata sebagai ketentuan hukum yang mengatur hubungan keperdataan harus dipatuhi oleh setiap subyek hukum tanpa terkecuali. Dengan demikian, surat kuasa pencairan sebagai salah satu bentuk perbuatan perdata tidak hanya harus memenuhi ketentuan-ketentuan terkait kuasa yang diatur dalam KUHPerdata, namun juga harus memenuhi ketentuan perjanjian khususnya terkait syarat keabsahannya yang menetukan kekuatan hukum surat kuasa tersebut.
Dalam prakteknya, surat kuasa pencairan tersebut diberikan debitur kepada bank pada saat yang sama dengan penandatanganan perjanjian kredit dan pengikatan jaminan gadai deposito. Mengingat surat kuasa pencairan tersebut dibuat untuk kepentingan jaminan gadai, maka pembuatan surat kuasa tersebut juga harus memperhatikan ketentuan gadai yang diatur dalam KUHPerdata.
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata, bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa gadai mengadung unsur serah terima hak suatu benda dari debitur kepada kreditur. Dengan diserahkannya hak atas benda tersebut kepada kreditur, maka secara otomatis debitur tidak mempunyai hak terhadap benda tersebut selama masa gadai. Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 1150 KUHPerdata dapat dikatakan bahwa debitur tidak mempunyai kewenangan lagi terhadap barang miliknya yang telah dijaminkan secara gadai. Dengan demikian debitur tidak berwenang untuk memberikan kuasa pencairan (dan/atau melakukan tindakan hukum lain) terhadap jaminan deposito tersebut.
Oleh karena tidak adanya kewenangan pada debitur saat membuat memberikan kuasa, maka surat kuasa pencairan tersebut dipandang tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya terkait syarat subyektif perjanjian atas kecakapan hukum.
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Menurut R. Soeroso :
“Yang dimaksud kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang -orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap.”
Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang. Adapun konsekuensi hukum terhadap suatu perjanjian yang tidak dilandasi dengan adanya kecakapan hukum salah satu atau lebih pihak dalam suatu perjanjian adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Tinjauan Positivisme Hukum Terhadap Penggunaan Surat Kuasa Pencairan
Mengingat surat kuasa pencairan tersebut dipergunakan sebagai alternatif eksekusi jaminan deposito yang diikat secara gadai, maka penggunaannya harus tunduk pada ketentuan hukum perundang-undangan yang mengatur tentang gadai.
Gadai merupakan hak jaminan kebendaan yang bersifat mutlak, yang memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda yang digadaikan dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Meskipun demikian, kreditur/pemegang gadai demi hukum dilarang secara langsung menjadi pemilik barang yang digadaikan jika debitur cidera janji sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1154 KUHPerdata berbunyi:
“Jika yang berutang atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, maka yang berpiutang tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan itu menjadi miliknya. Segala janji yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal”.
Ketentuan sebagaimana Pasal 1154 KUHPerdata tersebut sebagai wujud perlindungan hukum bagi debitur terhadap tindakan yang mungkin dapat dilakukan kreditur dengan itikad buruk, mengingat jaminan tersebut telah berada dalam penguasaannya. Dengan adanya ketentuan pada pasal tersebut, maka dalam pembuatan perjanjian gadai dilarang mencantumkan ketentuan yang mengatur bahwa apabila debitur cidera janji maka kreditur secara otomatis/langsung menjadi pemilik benda yang digadaikan. Larangan bagi kreditur untuk mengalihkan jaminan gadai menjadi miliknya tersebut merupakan ketentuan yang mengikat harus dipatuhi dalam perjanjian gadai, sebab apabila tetap diperjanjikan demikian antara para pihak, maka hal tersebut secara otomatis menjadi batal (batal demi hukum).
Apabila hal tersebut dihubungkan dengan pelaksanaan Surat Kuasa Pencairan, maka dapat dikatakan tindakan pencairan deposito yang hasilnya digunakan sebagai pelunasan utang tersebut merupakan bentuk upaya kreditur untuk mengalihkan jaminan gadai (deposito) menjadi miliknya. Upaya pengalihan jaminan deposito menjadi milik kreditur sebagai upaya pelunasan utang tersebut merupakan perbuatan hukum yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 1154 KUHPerdata, namun hal tersebut justru diperjanjikan secara jelas dalam surat kuasa pencairan. Oleh karena itu, mengingat dalam surat kuasa pencairan tersebut mengatur janji yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 1154 KUHPerdata, maka konsekuensi hukum terhadap surat kuasa pencairan tersebut adalah batal demi hukum.
Kesimpulan
Pemberian kuasa hanya dapat dilakukan oleh pihak yang mempunyai kewenangan atas suatu tindakan hukum tertentu. Pemberian kuasa pencairan deposito yang dilakukan oleh debitur terhadap deposito yang telah diikat secara gadai tersebut dinilai tidak memenuhi syarat kecakapan, sebab debitur sebagai pemilik jaminan (deposito) sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda yang dijaminkan. Sehubungan dengan tidak terpenuhinya unsur subyektif dalam perjanjian pemberian kuasa tersebut, maka status keabsahan surat kuasa pencairan dapat dibatalkan.
Surat kuasa pencairan yang dibuat oleh debitur pada saat pencairan kredit atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit bertetangan dengan ketentuan Pasal 1154 KUHPer dan tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya terkait ketentuan eksekusi jaminan gadai yang diatur pada Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata, artinya surat kuasa pencairan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum apapun. Tidak terpenuhinya syarat obyektif terkait sebab yang halal tersebut (bertetangan dengan ketentuan Pasal 1154 KUHPer) memberikan konsekuensi hukum pada surat kuasa pencairan tersebut batal demi hukum.
Saran
Sebaiknya pihak perbankan tidak perlu lagi menggunakan surat kuasa pencairan, karena selain tidak berguna juga menambah beban biaya, oleh karena itu keberadaan kuasa untuk mencairkan tersebut tidak efektif dan sia-sia saja mengingat tidak terdapat kekuatan hukum apapun dalam surat kuasa pencairan tersebut. Namun dalam hal deposito yang diharapkan sebagai sumber pelunasan utang tersebut tidak diikat atau dibebankan pengikatan jaminan gadai, maka pemberian kuasa untuk mencairkan tersebut penting dan dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi bank sebagai kreditur.
Meskipun tidak terdapat ketentuan Undang-Undang yang mewajibkan surat kuasa dibuat dalam bentuk akta otentik, namun apabila surat kuasa pencairan harus diterbitkan terhadap deposito (atau jaminan lainnya) yang belum bebani pengikatan jaminan apapun, untuk menjamin suatu kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak, maka sebaiknya surat kuasa pencairan tersebut dibuat dalam bentuk akta otentik sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung: Nusa Media, 2011), (Terjemahan),
J. Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengahadapi Kredit Macet, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993
M. T. Ruslan, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan Kendaraan Bermotor Roda Dua Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Katalogis, 4(10).
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2011
Purwahid Patrik, Hukum Perdata II. Undip: Semarang, 1988.
R. Soeroso, Perjanjian di bawah Tangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
R. Subekti, Hukum Perjanjian. Intermasa: Jakarta, 1991.
R. Subekti, Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni, 1999
Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum,(Bandung: Nusa Media, 2012) (Terjemahan),
Teddy Anggoro. Kata Menuntut Atau Vorderen Dalam Pasal 1156 Ayat (1) Kuhperdata Adalah Suatu Upaya Hukum Permohonan (Suatu Pemahaman Dasar Dan Mendalam), Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 (Juli-September 2009), hlm 383
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Jakarta: PT. Intermasa, 1986
Yavita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014
PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
INTERNET
https://lanlanrisdiana.blogspot.com/2013/02/makalah-teori-positivisme-dan-teori.html diunduh pada tanggal 30 juni 2019 pukul 01.28
https://www.kajianpustaka.com/2013/02/teori-perjanjian.html diunduh pada tanggal 24 Juni 2019 pukul 04.50 wib
Belum ada tanggapan untuk "KEKUATAN HUKUM SURAT KUASA PENCAIRAN SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PERBANKAN TERHADAP PENYELESAIAN KREDIT DENGAN JAMINAN GADAI DEPOSITO (DITINJAU DARI TEORI POSITIVISME HUKUM)"
Posting Komentar