PERADILAN AGAMA : TRANFORMASI DAN PERKEMBANGAN (Bab 7)

Arbitrase Komersial Islam di Indonesia dan Aplikasi Sengketa Perbankan

Karena industri perbankan syariah berkembang pesat, maka jumlah perkara sengketa yang timbu juga diperkirakan akan meningkat. Keputusan sengketa ekonomi Islam ditangani dengan cara yang sama seperti keputusan perselisihan komersial lainnya. Nyatanya, proses tersebut disortir oleh proses non-litigasi dan litigasi. Non-litigasi yaitu menetapkan perjanjian sengketa komersial dengan tidak adanya penetapan peraturan di bawah sidang penagdilan; sedangkan proses litigasi, tetap berada di bawah yurisdiksi pengadilan.

Lembaga Arbitrase Islam (Basyarnas)

Pada tanggal 12 Agustus 1999, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Basyarnas adalah lembaga yang berusaha untuk menyelesaikan perselisihan antara kedua belah pihak dalam sidang pengadilan, dan melakukan perjanjian dalam ekonomi Islam, sehingga mencapai solusi.

Konflik Yurisdiksi Setelah Penyelesaian Sengketa Islam


  • Penyelesaian Sengketa Ekonomi Islam Sebelum Penetapan Pengadilan Agama Nomor 3 Tahun 2006 ~ Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, penyelesaian sengketa perbankan syariah berada dalam yurisdiksi basyarnas sebagai proses non-litigasi, dan Pengadilan Negeri adalah lembaga otoriatif yang berkaitan dengan pemecahan masalah tersebut dalam cara litigasi, selain memaksakan institusi untuk menegakkan keputusan Basyarnas.
  • Mengatasi Sengketa Perbankan Islam setelah diundangkannya Hukum Pengadilan Agama Nomor 3 Tahun 2006 ~ Pada dasarnya, diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama menjawab dilema yuridijsi yang timbul dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Pasal 49 (i) menegakkan bahwa semua aspek mensyaratkan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi Islam berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Agama.


Meskipun demikian, masih terdapat masalah atas berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankan Islam. Seperti yang terlihat dalam Pasal 55 (1), dalam pernyataan aslinya tercatat bahwa :


  • Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan di bawah ketentuan Pengadilan Agama.
  • Dalam hal tersebut, kedua belah pihak memiliki suatu perjanjian pre-determined preferensi penyelesaian sengketa bagaimana dimaksud dalam Pasal (1), penyelesaian sengketa ditunjuk untuk dilakukan sesuai dengan isi perjanjian” Selanjutnya, dalam penjelasan (2), definisi “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan kesepakatan” didefinisikan sebagai berikut :
  • Negosiasi atau saling pengertian
  • Mediasi Perbankan
  • Badan Arbitrase Islam (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain
  • Pengadilan Negeri / Pengadilan Sipil

Dari perspektif teori huku, ada doktrin yang berkaitan dengan penafsiran hukum. Jika ada kasus dimana dua norma muncul secara bersamaan, yang mana keduanya dianggap sah dan berlaku, maka harus memilih salah satu diantara mereka.


  • Teori Lex Specialis Derogat Legi Generali adalah teknik yang ebrlaku umum interpretasi dan resolusi konflik dalam hukum internasional. Ini menunjukkan bahwa, setiap ada dua atau lebih norma memiliki masalah yang sama, prioritas harus diberikan kepada norma yang lebih spesifik.
  • Teori Lex posterior derogate Legi Priori adalah ekspresi dari prinsip yang menyatakan bahwa hukum kedua menggantikan sebelumnya. Solusi permasalahan dapat ditentukan berdasarkan waktu dikeluarkannya : yang mana diputuskan secara kontekstual.


Yurisdiksi Konflik : Forum Manakah Yang Kompeten?

Pengadilan Agama vs Pengadilan Sipil

Ada kelemahan dari Pengadilan Agama dan ketidakbiasaan dengan perselisihan. Pengadilan ini memiliki pengalaman jangka panjang yang berurusan dengan masalah keluarga Islam, yang memiliki sifat yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan sengketa komersial Islam. Sementara itu, Pengadilan Sipil tampaknya siap untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, sengketa komersial telah berada di bawah yurisdiksi sejak lembaga ini pertama kali didirikan. Dari keahlian yang cukup dan pengalaman dan sistem hukum yang mendasari perusahaan, Pengadilan Sipil tempaknya lebih maju dari Pengadilan Agama.

Meskipun demikian, setelah konflik yurudiksi seperti Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan seperti mendukung Pengadilan Agama. Keputusan Yudisial Nomor 93/PUU-X/2012 telah menetapkan bahwa Pasal 55 (2) UU tentang Perbankan Islam batal demi Hukum. Oleh karena itu, pengadilan agama satu-satunya forum, yang memiliki yurisdiksi atas sengketa keuangan Islam.

Pengadilan Agama : Mencoba untuk melawan Tantangan

Awalnya, Pengadilan Agama tidak memiliki dasar hukum substantif, yang dapat diterapkan sebagai pedoman untuk membuat keputusan sengketa ekonomi islam. Namun, melalui berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, pemerintah kemudian memiliki alasan yang jelas untuk mendahului dengan hukum Islam yang dikodifikasikan sebagai acuan standar dalam memutuskan Subjek Hukum dan Properti, kontrak, Grand dan Amal, Akuntansi Syariah dengan resmi Peluncuran Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) diatur PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 2 Tahun 2008. 

Pengadilan Agama Selama Periode Kolonial Belanda

Sebelum kedatangan Islam, hukum adat adalah satu-satunya instrumen yang sah dimana masalah yang timbul antara masyarakat adat diselesaikan. Sejak kedatangan Islam ke Indonesia, masyarakat Muslim mulai menerapkan hukum Islam berdasarkan aturan yang dianut dalam Quran, Hadist, dan buku Fiqh. Kedatangan orang Eropa ke Indonesia pada awal abad 16 memulai babak baru dalam sejarah negara dalam hal hukum Islam.

Dalam sistem hukum, Belanda memperkenalkan Hukum dan Sistem Hukum mereka kepada Indonesia. Rezim kolonial Belanda mempromosikan dan membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 kelompok ras dan kemudian dikonfirmasi dalam seni 163 dan 131 dari Staatsregeling Eindische (sebagaimana telah diubah) pada tahun 1926. Setiap kelompok ras berbagi dan menerapkan sistem hukum yang berbeda.

Dalam periode ini Pengadilan Agama mulai dipromosikan sebagai salah satu Pengadilan yang diakui. Ini menyiratkan bahwa keberadaan peradilan berbasis Islam, yang dilakukan oleh ulama Islam, telah diakui melalui Staatblad tersebut. Selanjutnya, pada tahun 1830 Pengadilan Islam, yang tunduj pada landraad kolonial (Pengadilan Negeri), ang bisa saja mengeluarkan perintah untuk mengeksekusi keputusan diperebutkan (executoire verklaring).

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "PERADILAN AGAMA : TRANFORMASI DAN PERKEMBANGAN (Bab 7)"

Posting Komentar