Roti kecik disebut demikian
karena bentuknya seperti kecik, biji sawo, bulat lonjong. Begitu awal mulanya,
tetapi roti yang dimaksud bukan roti bakery, yang empuk dan berpori. Roti kecik
masuk dalam golongan biskuit, roti kering dan tidak mendapat perkecualian,
tetap dinamakan roti.
Diawali dengan 2 bentuk, seperti
biji sawo kecil yang bulat lonjong dan panjang seperti jari yang disebut roti
pentung. Bentuk yang dikembangkan adalah bentuk seperti roda bergerigi, seperti
bunga yang dibuat dengan memanjangkan si pentung dan melekatkan kedua ujungnya
lalu menggunting sedikit sisi luar lingkaran.
Inilah penggalan cerita sebuah
sejarah. Memang demikian yang terjadi, sebuah camilan yang telah melewati umur
satu abad. Sebuah karya sederhana yang tak lekang masa. Kini Ganep merayakan ke
130 tahun usianya sebagai bisnis keluarga, melewati lima generasi. Lebih dari
seabad usianya, Ganep mematahkan stigma bisnis keluarga. Yang katanyanya bisnis
keluarga mengatakan bahwa generasi pertama membangun usaha, generasi kedua mengembangkan
dan generasi ketiga menghancurkannya.
Roti kecik memang bukan biskuit
pyur dengan banyak mentega. Roti ini adalah roti hebat, hebat karena sanggup
bertahan selama lebih dari satu abad. Lebih hebat lagi, sanggup bersaing dengan
biskuit renyah bermentega dan berkeju.
Nama Ganep yang berarti sehat
jiwa dan raga, menunjukkan sebuah pengharapan yang sempurna, komplet dan
tuntas. Roti kecik dan kuekue buatan Like Nio, penerima nama Ganep, telah
menjadi camilan pesanan keraton Surakarta di zamannya. Sampai hari ini keraton
Surakarta memiliki kedekatan khusus dengan Ganep. Kuekue Ganep tetap menjadi
pilihan untuk camilan maupun oleholeh.
Ganep menjadi nama yang magis
sekaligus anggun. Menjadi magis karena dikaitkan dengan keluarga kerajaan.
Ganep menjadi nama yang anggun dan sarat makna, Ganep sama seperti semua orang
yang percaya akan kekuatan sebuah nama, menyuguhkan sebuah arti yang sangat
dalam, membawa rohnya sampai 130 tahun kemudian, yang bakal terus di bawa
melewati generasi kelima sekarang ini.
Dari bahasa Jawa, Ganep berarti
lengkap, utuh, genap. Lengkap yang sempurna. Dan utuh, lengkap itulah yang
menjadi doa turun temurun dari Ganep. Mengantarkan keluarga Ganep untuk selalu
bekerja sempurna, utuh, tidak setengahsetengah, tuntas dan genap.
Ganep juga berarti waras, menurut
kamis besar Bahasa Indonesia berarti sembuh jasmani dan sehat rohani. Waras
menunjuk pada makna kesehatan yang lebih luas, kesehatan yang tak hanya
meliputi kesehatan jasmani atau badan tetapi juga kesehatan pikiran dan hati.
Kesehatan hati dan pikiran pula yang menuntun dan menguatkan komitmen para
generasi Ganep untuk meneruskan citacita Nyah Ganep.
Sejarah Toko yang Pertama
Nyah Ganep membuka usahanya di
rumah tinggal keluarga besar di Kawasan Tambaksegaran, tak jauh dari kawasan
Pasa Gede yang juga berdekatan dengan Benteng Vastenberg dan Keraton Kasunanan.
Pada masa penjajagan Belanda,
solo sebagai pusat pemerintahan kerajaan Kasunanan Surakarta dianggap penting
dan strategis sehingga kerajaan belanda menempatkan banyak tentara mereka di
kota raja. Untuk menghilangkan kepenatan selama bertugas para meneer dan sinyo
Belanda ini kerap menghelat pertemyan santai sambil dansadansi dan menghisap
cerutu atau pipa cangklong.
Di kawasan inilah Nyah Ganep
memulai usahanya. Kala itu, belum banyak camilan yang diproduksi. Produk
andalannya juga masih kondang hingga kini adalah roti kecik.
Di tangan generasi kedua dan
ketiga
Kiprah Nyah
Genep mengembangkan bisnis ini berakhir tahun 1911. Tongkat estafet
kepemimpinan berpindah ke tangan putrinya Tjan Ting Nio. Tidak persis seperti
itu sebenarnya, karena tongkat estafet tidak pernah secara tegas diputuskan
pada sebuah hari khusus. Anakanak yang meneruskan usaha keluarga telah terjun
ke dalam bisnis orang tua paling tidak selama sepuluh tahun sebelum
sinyalsinyal siapa yang menjadi penerus muncul.
Tjan Ting Nio menjalankan Ganep
bersama suaminya Oh Kian Tjwan selama 30 tahun, hingga tahun 1941. Tidak banyak
yang bisa diceritakan dari kedua pasangan ini. Generasi yang sekarang pun sudah
tidak lagi memiliki cerita yang diturunkan tentang keduanya. Mungkin saja
mereka dikenal sebagai anak Nyah Ganep. Atau bahkan sudah mulai membuka toko,
tidak ada cerita yang diturunkan sampai generasi sekarang seperti cerita Nyah
Ganep tadi. Bisajadi tak ada yang cukup spektakuler untuk diceritakan, tak ada
sebuah kekhususan sehingga perlu diingat, perlu diceritakan, disampaikan kepada
generasi berikutnya.
Satusatunya yang tampaknya terus
diturunkan adalah resep roti kecik dan rotiroti kering berbahan nonterigu
kering sampai sekarang masih bertengger di rak display toko Ganep di bawah
manajemen generasi kelima.
Sebuah toko kue dengan nama
Ganep. Masih belum diputuskan warnanya tetapi sudah ada nama. Nama yang
turuninnurun magis dan anggun menjadi nama toko.
Di atas kertas, generasi ketiga
Ganep memang diserahkan pada Oh Toen Lee yang menikah dengan Tjan Phiauw Nio.
Tapi, orangorang dan tentu saja, para penerus Ganep generasi keempat hingga
seterusnya, tidak bisa menafika begitu saja peran anakanak Tjan Ting Nio dan Oh
Kinn Tjwan yang lain, yaitu Oh Toen Djien dan Oh Toen I.umg. Ketiga putra Tjan
Ting Nio ini dikenal kompak. Di kalangan keluarga besar, mereka dikenal sebagai
Gebroeders Oh, sebutan dalam bahasa Belanda yang berarti Oh Bersaudara.
Mak Tries Menjual Ganep ?
Pengelolaan Ganep di tangan
generasi keempat berlangsung sampai tahun 1990. Toh, mengelola bisnis keluarga
tetap bukan perkara gampang. Ibarat roda berputar, adakalanya perjalanan bisnis
harus berada di bawah, atau berjuang menghadapi kerikil dan batu yang
menghadang.
Begitu pula Ganep, dalam
perjalanan melampaui masa 130 tahunnya mau tak mau harus bertemu muka pula
dengan tantangan baru. Tahun 1987, Ganep harus merelakan sebagian bangunan ioko
untuk pelebaran jalan. Toko kue yang semula cukup lapang, kini harus bisa
bertahan di ruang 3x4 meter persegi. Ditambah dengan munculnya tokotoko kue
yang baru, masyarakat mulai memiliki lebih banyak pilihan. Tokotoko yang baru
dengan baubau roti Belanda begitulah orang daerah Solo menyebutnya, semua yang
berbau Barat disebut Londo (Belanda)
lebih empuk, mekar, dengan variasi bentuk yang bermacammacam. Sementara
itu Ganep masih bertahan dengan model toko tradisional: etalase roti berupa
rakrak dipajang lurus menempel tembok, pintu dari kayu seperti layaknya model
rumah pada waktu itu, lampu yang ada hanyalah sekadar penerangan secukupnya,
bukan seperti yang kita lihat di toko bakery modern sekarang ini.
Bagi generasi keempat, yang masih
terjun membuat sendiri kuekue yang mereka jual, model pemasaran baru dengan
mempromosikan produk kepada orang yang tidak mereka kenal, mendandani toko
gebyargebyar, sama sekali bukan pilihan yang dianggap menguntungkan. Omzet
meningkat karena pelanggan yang kembali. Keakraban terjalin antara penjual dan
pembeli sampai sebegitu dalamnya sehingga cukup banyak pelanggan sampai
mengenali siapasiapa kasir yang melayani mereka.
Ganep adalah toko yang
mengandalkan sebuah hubungan kedekatan. Kecepatan bergerak bukan unggulan
Ganep, minimal bukan unggulan pemegang tongkat estafet pada waktu itu
Lahir kembali
Akhir tahun 1990, si bungsu C.
Oeke Oh Lioe Nio pulang ke kampung halaman di Solo. Setelah menyelesaikan
sekolahnya di Amerika, Oeke bersama suami berkarier di ibu kota. Di bilangan
Kedoya di mana Oeke dan suami tinggal, nama Oeke berkibar sebagai pengajar
bahasa Inggris. Maka ketika rapat keluarga digelar dan Oeke dipanggil pulang,
tidak tebersit sedikit pun bahwa dia nanti akan dipilih untuk mengelola Ganep.
Rapat keluarga membahas
penyelamatan Ganep sebagai bisnis warisan. Dari keempat anak Tan Tries Nio dan
Oh Sing Tjiang, Oeke sebenarnya tak pernah dipersiapkan untuk meneruskan bisnis
Ganep. Tetapi pembentukan PT (Perseroan Terbatas) menempatkan Oeke sebagai
direktur utama. Mau tidak mau ia harus mudik, balik ke Solo meninggalkan usaha
kursusnya di Jakarta.
Usia Oeke saat itu 33 tahun, ia
pun mulai menjalankan Ganep hanya dengan bantuan tiga pekerja yang setia
bekerja sejak masa Ganep generasi ketiga. la terjun langsung menjalankan bisnis
ini dan ikut bekerja sebagai penjaga toko.
Perlahan namun pasti pembeli
mulai ramai. Oeke berusaha untuk menjalin kedekatan dengan para pelanggan
Ganep, persis seperti yang dilakukan pendahulunya.
Satusatunya cara promosi yang dikenal
cuma pameran
Untuk mendongkrak penjualan, Oeke
mencanangkan promosi. Cara sederhana berpromosi yang diketahuinya adalah
mengikuti pameran. Tak peduli pameran sekecil apa pun hisa menjadi pintu untuk
memperkenalkan produk. Apalagi bila produk yang Anda miliki seunik Roti Kecik
milik Ganep. Begitulah awal mula Oeke menjalankan Ganep.
Tahun 1991, Ganep berpartisipasi
dalam pameran yang digelar di Wisma Batari, sebuah gedung pertemuan yang pada
waktu itu termasuk wah, dibangun tepat di pinggirjalan Slamet Riyadi bagian
timur.
Meskipun dikenal sebagai produsen
roti kecik, biskuit kuno ini tidak menjadi primadona dalam pameran kali ini.
Sebuah produk baru diperkenalkan dengan nama Roti Kece. Ini roti biasa saja
seperti roti manis, buns kata Inggrisnya, tetapi berisi kacang, cokelat,
dan kismis. Tidak ada yang istimewa. Yang istimewa adalah namanya.
Kece diambil dari sebutan anak
gaul di masa tahun 1990an untuk menyebut halhal yang keren. Maka roti kece
boleh dibilang roti keren, cool. Kacang, cokelat, dan kismis yang keren.
Entah karena nama roti yang
dianggap gaul atau karena memang rasanya yang lezat, roti kece laris terjual
selama pameran. Oeke mengingat dalam satu hari pameran, ia bisa menjual hingga
ratusan buah roti. Efek domino dari laris manisnya roti kece, tentu saja,
kebangkitan nama Ganep. Orangorang Solo yang nyaris lupa, diingatkan kembali
bahwa Solo punya toko camilan yang sudah berdiri sejak abad ke19. Tawaran kerja
sama dengan Ganep mulai berdatangan. Ganep diminta untuk jadi sponsor
acaraacara di Solo. Nyaris tidak ada tawaran yang ditolak.
Tahun 1994, peluang makin terbuka,
seorang teman di Uni Emirat Arab mengajak kerja sama. Roti kecik sebanyak satu
kontainer pun sempat melanglang ke Uni Emirat Arab. Sayang, birokrasi ekspor
belum pernah dikenal oleh Oeke, alhasil kerja sama ini hanya berjalan sekali
saja.
Tertutup satu pintu, terbuka
pintu lain. Setelah pengiriman ke Uni Emirat Arab berlangsung kurang sukses,
datang lagi kesempatan lain untuk unjuk gigi ke luar negeri. Kali ini ajakan
pemerintah daerah untuk ikut berpameran di Singapura. Tahunnya 1997. Pameran
yang sukses, Oeke makin percaya diri dengan Ganep. Kesuksesan ini siap
dirayakan.
Lebih dari 100 tahun bisnis
keluarga ini berjalan. Selama itu, zaman terus berganti. Pelanggan awal Ganep
yang dulu berkebaya dan berjarit, memakai selop atau malah bertelanjang kaki, saat
tahun 1970an bergeser jadi pelanggan bersepatu mary jane atau pantofel. Para
prianya berambut klimis, celana cut bray dan wanitanya ratarata tampil dengan
rambut ala Farah Fawcett si Charlie's Angels. Rambut mokar bergelombang.
Sekarang, melewati abad 20,
pelanggan yang datang ke Ganep sudah berganti penampilan lagi. Pelanggan
berganti, pengelola juga bergantiganti. Diturunkan dari orangtua ke anak, terus
begitu hingga generasi kelima. Tiap generasi memberi warna yang berbeda, sesuai
zamannya. Memang rentang waktu antara masa kependudukan Belanda dan masa
sekarang ini sangat jauh. Ganep yang sekarang tidak bisa lagi diopeni dengan
cara Nyah Ganep dulu.
Nyah Ganep bisa saja mengerjakan
dapur kuenya dengan sederhana, kalau dibandingkan dengan ukuran sekarang. la
tidak perlu baliho besar buat promosi. Jangankan baliho, papan nama saja tidak
ada. Promosi sudah cukup dari mulut ke mulut.
Ganep di tengah krisis
Solo jelas bukan kota asing buat
Oeke. Di kota ini dia lahir dan dibesarkan. Di rumah keluarga besarnya di
kawasan Tambaksegaran, yang juga dimanfaatkan untuk toko. Oleh sebab itu, roti
kecik juga bukan kue asing buat ibu dengan dua anak ini. Sejak kecil, Oeke
sudah terbiasa
Nyah Ganep juga tidak butuh mesin
kasir. Hitungan luar kepala cukup. Ringan, dan bukankah kepala dibawa
kemanamana, tidak perlu ketinggalan seperti kalkulator. Sekian bungkus
diberikan, sekian gulden diterima.
Kalaulah saja cara begitu masih mampu
mengimbangi perkembangan zaman dan persaingan bisnis masa kini. Oeke, generasi
kelima Ganep pasti tak perlu mengupayakan perubahanperubahan untuk mengimbangi
zaman. Ganep di zaman Oeke harus bersanding dengan tokotoko roti yang bejibun
jumlahnya. Konsumen yang dihadapi Oeke juga berbeda dari masa Nyah Ganep.
Konsumen sekarang bukan cuma memilih roti berdasar rasa tapi juga berdasar
kemasan dan ada saja yang memilih karena tingkat gengsinya.
Tantangan baru seperti ini yang
mesti dihadapi Oeke pada saat ia mulai dipercaya mengurus Ganep, melanjutkan,
tradisi dan bisnis keluarga yang sudah berusia lebih darii seabad. Padahal bisa
dibilang Oeke buta bisnis. Bahkan keterlibatannya di Ganep boleh dibilang
"kecelakaan", terbawa begitu saja oleh rentetan kejadian yang menimpa
Ganep.
Oeke kecil tidak pernah berkhayal
kalau nantinya dia bakal menerima tanggung jawab besar meneruskan usaha
keluarga yang dibangun dengan keringat leluhurnya, Nyah Ganep. Sejak kecil,
bungsu dari empat bersaudara keluarga Oh ini malah tidak terpikir akan
terlibatjauh dalam bisnis. Tidak pernah belajar membuat roti dan kue pula,
apalagi belajar bisnisnya.
Oeke menekuni bahasa Inggris di
Univeritas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dan di awal tahun 1980an, Oeke bahkan
nekat melanglang sampai ke Negeri Paman Sam, memperdalam ilmu bahasa.
Sekembalinya ke Indonesia, Oeke
berkarier di Jakarta. Sebuah rumah di kawasan Kedoya menjadi tempat kursus
bahasa Inggris. Muridnya dari anak SD sampai eksekutif dan profesional. Tempat
kursus itu ia beri nama English learner's Studio. Tempat itu ramai didatangi
murid dari pagi sampai malam.
Dari konsistensinya di dunia
pendidikan saat itu, pundipundi uang Oeke mulai terisi. Relasi pun dengan
sendirinya bertambah, jadi pasti tidak sulit jugalah kalau ia mau mengembangkan
usahanya tersebut di Jakarta. English learner's Studio terus berkembang dan
makin dikenal orang. Kesempatan untuk mengembangkan diri di ibu kota kian
besar. Secara finansial dan kesempatan mengembangkan diri, Oeke sudah cukup
mapan meski jauh dari bisnis toko kue dan roti.
Tapi pada akhir tahun 1990an,
keluarga besar Oh menggelar rapat keluarga. Ganep sedang menghadapi masa
krisis. Keuangan moratmarit karena salah kelola. Ganep bahkan berencana dijual.
Iklan penjualan sudah diterbitkan di surat kabar, beberapa kerabat juga sudah
ditawari untuk membeli Ganep.
Oeke, si bungsu akhirnya memutuskan
ikut hadir juga dalam rapat keluarga, menganggap bahwa bagaimanapun, Ganep
merupakan bagian dari dirinya. la lahir dan tumbuh besar di sana. Sama sekali
tidak tersirat bayangan bahwa kedatangannya ke Solo kali itu bakal mengubah
total jalan hidupnya.
Pada waktu Oeke masuk banyak
pembenahan dilakukan, baik pembenahan fisik toko, maupun variasi produk yang
ilijual. Terobosanterobosan cara berpromosi juga dilakukan. Dari berpameran,
kerja sama dengan instansi seperti sekolah dan perkumpulanperkumpulan balap
sepeda, menambah outletoutlet di tempattempat umum seperti rumah sakit dan
bandara dan melakukan kemitraan dengan ix'ngrajm kue tradisional.
Jadilah, di awal dekade 1990an,
ia pulang kampung. Mengulang nostalgia masa kecil dan remaja sambil mencicipi
lagi roti kecik yangjadi camilan Oeke kecil. Juga semImfi bertemu lagi dengan
karyawankaryawan Ganep yang in.isih setia bekerja sejak masa generasi ketiga
keturunan Ganep dan sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga besar Ganep.
Untuk menyelamatkan Ganep, bisnis
rintisan Nyah Gatirp itu dinaungi dalam sebuah badan hukum, perseroan terbatas,
seperti yang diusulkan oleh Albert, menantu tertua Muk Tries. Oeke ditunjuk
untuk menjadi direktur utama, Ganep Tradisi Solo. Komisaris Utama dijabat oleh
Mak Tries dan posisi komisaris diisi Albert.
Ganep Ganti Baju
Ganep sudah tua. Bayangkan
umurnya saja sudah lebih dari seabad. Tampilan toko Ganep waktu pertama kali
Oeke pulang, juga sudah tampak tua dibanding dengan toko kue sejenis. Produk
yang dijual pun tidak berbeda. Meskipun roti dan kue Ganep lezat menggoyang
lidah, kemasan yang dipakai masih kemasan sederhana, plastik dengan logo yang
berbedabeda.
Tokotoko kue baru yang muncul di
awal tahun 1990an telah memiliki layout yang lebih mentereng, paling tidak
rakrak kaca, dengan lampu hiasan terang benderang. Dengan pintu kaca yang
membuat pajangan kue terlihat keren dari luar. Packaging lebih modern dengan
plastik berlem. Ganep sebaliknya, tidak seperti toko kue lain yang punya pintu
kaca dan rak pajangan yang keren. Qanep masih bertahan sebagai toko penyedia
kue dengan penampilan seadanya. Pintu toko adalah pintu kayu lama dengan cat
berulang. Roti dipajang pada rak kayu yang menempel di dinding. Kuekue kering
terpajang dalam topics kaleng yang tidak kalahjadul menurut ukuran waktu itu.
Luas toko yang hanya 3x4 semakin menambah citra bahwa Ganep adalah produsen
roti, tapi bukan toko roti yang membuat konsumen boleh memilihmilih seperti di
toko lain.
di depan toko, meskipun logo
bukan barang baru buat Ganep logo Ganep sudah ada sejak masa generasi ketiga,
hasil ciptaan Oh Toen Lee, toh tidak pemah dipasang besar di dcpan toko.
Logo diperbarui. Memakai
perpaduan warna ungu dan jingga dengan tulisan kata "Ganep" dijalin
memakai huruf Latin sambung dan ornamenjambul semar di huruf G tulisnn Ganep.
Member! pesan ceria dan unik.
Logo Ganep beberapa kali berganti
penampilan, meskipun tidak jauhjauh dari tulisan ganep. Di zaman Engkong Tun
logo dicetak datar, tidak miring ke atas seperti sekarang, tidak ada pula garis
penyeimbang di kiri kanannya.
Oeke membuat sedikit modifikasi
pada logo. Memberikan liarapanharapan yang tersirat lew at logo. Logo ditulis
miring ke atas, menandakan pengharapan bahwa toko Nyah (tanep ini harus selalu
selalu meningkatkan diri, harus berusaha makin baik dari hari ke hari. Dalam
berbagai pemakaian, dengan model logo miring ke atas, logo akan sering dipasang
di sudut kiri atas, termasuk pada packaging kue. Sohingga ada kesan pojok yang
dipotong. Inilah halhal buruk yang ingin dipotong oleh Ganep.
Warna logo menjadi cerminan dari
pribadi Ganep. Oranye menyala, yang dinamis, dibarengi dengan warna ungu, warna
yang melambangkan keagungan, lambang warna Yang Mahakuasa, menjadi doa, supaya
segala kegiatan yang dinamis itu tetap dinaungi oleh kasih yang besar. KaNili
yang memperhatikan. Kasih yang membagi kebahagiaan pada semua orang.
Memang bukan logo yang dipikirkan
supaya nongol ketika berjajar dengan logologo yang lain, atau pas ketika mesti
dijajarkan dalam desain background yang berbedabeda, atau logo yang tampak
kokoh, tetap mencolok diperbesar maupun diperkecil. Logo Ganep baru adalah logo
dengan doa, sama seperti kebanyakan logo UKM, dibuat oleh pemilik tanpa
strategi apa pun kecuali harapanharapan yang dituliskan pada logo tersebut.
Layout ruang toko juga tidak
luput dari pembenahan. Ruang toko yang dulu sempit, karena mesti berbagi dengan
kantor administrasi,, ruang tamu dan bahkan kamar mandi, kini diperluas.
Ruangruang lain direlokasi, ke lantai dua. Toko Ganep terasa lebih lapang,
lebih banyak ruang buat memajang lebih banyak roti dan kue. Sekarang, mereka
menyala dengan warna oranye dan cokelat, sungguh pas untuk sebuah toko roti
yang hangat, yang empuk, rasanya enak sekali.
Ketika profit menjadi akibat bukan tujuan
Di Ganep karyawan menjadi seperti
keluarga. Jumlah karyawan yang sekarang mencapai 80an orang tidak membuat Ganep
sebuah perusahaan yang dingin. Kedekatan pemilik dengan karyawan yang
diturunkan dari generasi awal tidak juga luntur, bahkan yang disebut dengan
absensi karyawan pun barubaru saja dimunculkan.
Penampilan sudah oke, cukuplah
untuk menarik perhatian orangorang yang lewat depan toko. Tapi itu saja,
tampaknya masih belum cukup mengimbangi persaingan dan modernisasi. Supaya
lebih dikenal, Ganep hams lebih membuka diri, memperluas pergaulan. Dengan kata
lain, maka Ganep melakukan aktivitas yang umum dilakukan para pengusaha yang
memiliki kompetitor: mulai berpromosi.
Tapi promosi bukannya tidak butuh
biaya. Bayangkan, promosi dengan media cetak saja butuh biaya yang tidak sedikit.
Bisa ratusan ribu sekali tayang. Padahal untuk mempromosikan toko tidak cukup
hanya dengan satu kali beriklan di surat kabar. Tidak terbayangkan oleh Ganep
di masa itu. Ketika kondisi keuangan masih sangat labil. Lagi pula berpromosi
lewat media cetak tidak tepat langsung sasaran. Tidak ada penjualan langsung
yang lagi dibutuhkan. Hasil tidak pasti, tetapi biaya pasti. Mesti dicari cara
promosi yang lebih murah, lebih mampu dilakukan oleh Ganep dan lebih tepat
sasaran.
Awal dekade 1990an, orangorang Solo
kesengsem dengan sepeda santai. Pada banyak kesempatan, ada saja acara sepeda
santai yang digelar. Oeke tidak menyianyiakan ini. Lewat kerabatjauhnya,
seorang Event Organiser, Oeke mencoba mencuricuri peluang. Menawarkan diri ikut
terlibat dalam banyak acara sepeda santai, sambil tentu saja memperkenalkan
Ganep.
Tidak lama, datang kesempatan
lain, ikut berpameran di Wisma Batari. Gedung berarsitektur Jawa klasik di
Jalan Slamet Riyadi. Gedung ini sangat dikenal, minimal waktu Oeke memulai
kiprahnya di Ganep. Halaman gedung yang luas sering dimanfaatkan untuk
menggelar acara-acara yang melibatkan banyak orang, seperti pernikahan dan
tentu saja pameran.
Ini kali pertama, setelah lebih
dari seabad usianya, Ganep terlibat dalam pameran. Untuk momen ini, Oeke terjun
langsung menjaga stan pameran. la berinteraksi dengan para pembeli: pengunjung
dan pemilik stan lain. Malah dia juga sengaja menampilkan produk baru. Roti
berisi kacang, cokelat, dan kismis, dan menamainya roti kece. "Kece"
sebut-an yang lagi nge-hits di kalangan anak gaul (zaman itu) untuk menyebut
segala sesuatu yang keren, bagus, imut, dan sebangsanya menjadi andalan.
Pameran di Wisma Batari menjadi
titik balik bagi Ganep. Momentum ini mengangkat kembali nama Ganep. Orang-orang
mulai kembali menoleh kepada toko pembuat camilan kesukaan Susuhan Paku Buwono
X.
Seiring makin banyak orang yang
kembali mengingat Ga¬nep, makin banyak juga pihak-pihak yang datang menawar-kan
kerja sama: kerja sama untuk mensponsori kegiatan, kerja sama untuk penyediaan
konsumsi instansi tertentu, sampai tawaran kerja sama penjualan. Semua tawaran
yang datang dipelajari dan direspons. Nyaris semuanya diterima, bahkan tawaran
kerja sama yang kelihatannya tidak terlalu menguntungkan karena hanya
menghasilkan laba yang mi¬nim pun tetap direspons baik.
Mengiyakan kerja sama bukan
berarti tanpa risiko. Tetapi Oeke memang percaya, semua perbuatan baik akan
memberi hasil baik, dan sebaliknya juga. Dan nyatanya memang terjadi sama
seperti yang diper-cayainya, semakin banyak peluang bisnis berdatangan.
Reference :
Peni R. Pramono & Wiwied Esmaningtyas. 2012. Ketangguhan
Perusahaan Keluarga Bertahan Lebih Satu Abad. Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo.
Belum ada tanggapan untuk "GANEP : KETANGGUHAN PERUSAHAAN KELUARGA LEBIH DARI SATU ABAD"
Posting Komentar