Makalah Hukum dan Ekonomi

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN INDONESIA

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Istilah “Hukum Konsumen” dan “Hukum Perlindungan Konsumen” sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu identik. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya

Kendati hukum perlindungan konsumen dalam banyak aspek berkorelasi erat dengan hukum perikatan perdata, tidak berarti hukum perlindungan konsumen semata-mata dalam wilayah hukum perdata. Ada aspek-aspek hukum perlindungan konsumen dalam bidang hukum publik, terutama hukum pidata dan hukum administrasi negara. Jadi tepatnya hukum perlindungan konsumen di wilayah hukum privat (perdata) dan di wilayah hukum publik.

Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas penulis mengajukan rumusan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimanakah sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen
Bagaimanakah prinsip-prinsip dan ruang lingkup Hukum Perlindungan Konsumen
Bagaimanakah Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Positif Indonesia


PEMBAHASAN

Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen

Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumenrisme) dewasa ini sebenarnya masih paralel dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen dirintis oleh YLKI yang berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.

Sekalipun demikian, tidak berarti sebelum ada YLKI perhatian konsumen di Indonesia sama sekali terabaikan. Beberapa produk hukum yang ada, bahkan yang diberlakukan sejak zaman kolonial menyinggung sendi-sendi penting perlindungan konsumen. Dilihat dari kuantitas dan materi muatan produk hukum itu dibandingkan dengan keadaan di negara-negara maju (terutama Amerika Serikat), kondisi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Walaupun bekgitu, keberadaan peraturan hukum bukan satu-satunya alasan untuk menilai keberhasilan gerakan perlindungan konsumen. Gerakan ini seharusnya bersifat massal dan membutuhkan kemauan politik yang besar untuk mengaplikasikannya.

Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru benar-benar dipopulerkan sekitar 20 tahun lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada 1990 bergabung menjadi anggota Consumer Indonesia (CI). Di luar itu, dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarkat yang serupa yang berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai propinsi di tanah air.

Prospek Gerakan Konsumen.
Gerakan konsumen internasional sejak 1960 memiliki wadah yang cukup berwibawa, yang disebut International Organization of Consumers Unior (IOCU). Kemudian sejak 1995 berubah menjadi  Consumers International (CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen berasal dari sekitar 90 negara di seluruh dunia. Setiap 15 Maret CI memperingati “Hari Hak Konsumen Sedunia”, dan memberi tema berbeda untuk setiap tahunnya.
Konsumen Indonesia merupakan bagian dari konsumen global, sehingga gerakan konsumen di Indonesia internasional mau tidak mau menembus batas-batas negara, dan mempengaruhi kesadaran konsumen lokal untuk berbuat hal yang sama.
Seiring dengan maraknya tema hak asasi manusia, konsumen global juga akan mempersoalkan apakah barang yang dibuat itu menggunakan tenaga kerja yang dibayar murah, atau apakah masih menggunakan buruh anak-anak, atau apakah buruh-buruh itu diberi hak untuk berorganisasi.
Alhasil, gerakan konsumen, baik di dunia internasional maupun di Indonesia, pada masa-masa mendatang menghadapi suasana yang jauh lebih kompleks. Arus tuntutan konsumen melalui gerakan-gerakan tadi makin lama makin deras, sehingga tidak mustahil menimbulkan instabilitas bagi negara-negara produsen dan pemerintahannya belum siap benar, kesiapan tersebut tidak sekedar dalam arti “bisa bersaing dan berinovasi”, tetapi terlebih-lebih bagi pemerintahny, adalah siap dengan pembangunan unsur-unsur sistem hukumnya.

Prinsip-prinsip dan Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen

Prinsip-prinsip
Menurut Prof. Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompesatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan). dalam pelbagai kasus, konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan komplementer (memberikan informasi) tetapi juga ditindak lanjuti dengan kebijakan kompensatoris (meminimalisasi resiko yang harus ditanggung konsumen).
Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentu saja prinsip-prinsip tersebut bukan sesuatu yang khas “hukum perlindungan konsumen) karena juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat.

Kedudukan Konsumen
Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarh hukum perlindungan konsumen. Termasuk kelompok ini adalah :
Prinsip let the buyer beware (Caveal emptor), doktrin ini sebagai embriodari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen.  
The due care theory, doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa.
The priority of Contract, prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual.

Proses Beracara
Prinsip-prinsip yang berhubungan dengan penyederhanaan dalam proses beracara berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen. Dalam kaitan dengan karakteristik ini, maka proses beracara dalam hukum perlindungan konsumen mengenai antara lain adanya :
Small Claim  adalah jenis gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil.
Class Action adalah pranata hukum yang berasal dari sistem common law.
Legal Standing untuk LPKSM, selain gugatan kelompok (Class action) UUPK juga menerima kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing.

Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen

Ruang lingkup Hukum Perlindungan Konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis Undang-undang, seperti Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum Perlindungan Konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang atau cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat “konsumen”

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Hubungan hukum perlindungan konsumen dan bidang hukum yang lain. Dalam sejarah perlindungan konsumen pernah secara prinsipil menganut asas the privity of contract. Artinya, pelaku usaha hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya sepanjang ada hubungan kontraksual antara dirinya dan konsumen. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila ada pandangan, hukum perlindungan konsumen bekorelasi dengan hukum perikatan, khususnya perikatan perdata.

Kendati hukum perlindungan konsumen dalam banyak aspek berkorelasi erat dengan hukum perikatan perdata, tidak berarti hukum perlindungan konsumen semata-mata dalam wilayah hukum perdata. Ada aspek-aspek hukum perlindungan konsumen dalam bidang hukum publik, terutama hukum pidata dan hukum administrasi negara. Jadi tepatnya hukum perlindungan konsumen di wilayah hukum privat (perdata) dan di wilayah hukum publik.

Hak-hak konsumen. Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu:

Hak untuk mendapatkan keamanan (the right of safety)
Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)
Hak untuk memilih (the right of choose)
Hak untuk didengar (the right to be heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun tidak semua organisasi konsumen menerima hakhak tersebut. YLKI misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi, haitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai Panca Hak Konsumen.


Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Positif Indonesia

Hukum positif (Plus Constitution) merupakan substansi hukum yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Waktu tertentu yang dimaksud disini ketika suatu peristiwa hukum itu terjadi. Hukum positif dengan kata lain, hukum yang sedang berlaku, bukan hukum di masa lampau atau hukum yang dicita-citakan.

Hukum positif merupakan substansi dari suatu sistem hukum. Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum mempunyai tiga unsur, yaitu (1) struktur, (2) substansi, dan (3) budaya hukum.

Hukum Keperdataan. Secara substansial merupakan area hukum yang sangat luas dan paling dinamis, keluasan hukum keperdataan sekilas segera tampak dari judul-judul buku dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang merupakan lex specialis, sementara Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah lex generalis-nya. Dalam asa hukum dikatakan, jika terjadi perselisihan pengaturan antara undang-undang yang khusus dan undang-undang yang lebih umum, maka yang khusus inilah yang digunakan (lex specialist derogal lege generali).

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata terlihat perjalanan yuridis seorang manusia sejak ia lahir sampai setelah yang bersangkutan meninggal. Dalam hukum perdata itu antara lain dibicarakan bagaimana hubungan seseorang dengan keluarga, benda, orang lain dalam lapangan harta kekayaan dan ahli warisnya jika meninggal.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata sendiri secara formal masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang daya berlakunya. Pada 1963, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. I/1963, diadakan imbauan untuk tidak lagi menganggap Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai undang-undang, tetapi lebih sebagai kitab hukum.

Hukum Pidana. Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Di Indonesia penerapan kitab di atas diunifikasikan sejak 1918, yakni sejak pertama kali diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch. Indie.

Jadi, berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang masih bersifat pluralistis, kodifikasi hukum pidana tersebut jauh-jauh hari berlaku untuk semua golongan penduduk. Setelah Indonesia merdeka, melalui UU No. 1 tahun 1946, Kitab Undang-undang itu lalu diadopsi secara total.

Dalam kitab UU Hukum pindana tidak disebutkan kata “Konsumen”. Kendati demikian secara implisit dapat ditarik pasal beberapa pasal yang memberikan prelindungan hukum bagi konsumen, antara lain :

Pasal 204: Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau atau membagi-bagikan barang yang diketahui, bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Jika perbuatan mengakuibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 359: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun (L.M 1906 No. 1).

Hukum Administrasi Negara. Seperti halnya pidana, hukum administrasi negara adalah instrumen hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif tanpa disertai sanksi administratif.

Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru pada pengusaha, baik itu produsen, maupun para penyalur hasil-hasil produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan preijinan yang diberikan Pemreintah RI kepada pengusaha/ penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran ijin-ijin itu dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah.

Pencabutan ijin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dan produsen/penyalur. Produksi disini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang/jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemilihan hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas instrumen hukum administrasi negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan bantuan hukum perdata dan/atau pidana.


Kesimpulan

Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru benar-benar dipopulerkan sekitar 20 tahun lalu, yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada 1990 bergabung menjadi anggota Consumer Indonesia (CI).

Dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan yaitu kebijakan yang bersifat komplementer dan kebijakan kompesatoris. Sedanfkan ruang lingkup Hukum Perlindungan Konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis Undang-undang, seperti Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum Perlindungan Konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang atau cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat “konsumen”



DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Undang-Undang Dasar 1945 Lengkap Dengan Perubahannya. 2003.
Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-masalah Hukum dan Perdagangan Internasional. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1995.
Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990.
John Naisbitt & Patricia Aburdene, Megatrends 2000. Diterjemahkan oleh Budiyanto, Binarupa Aksara, Jakarta, 1990.
John Naisbitt, Global Paradox. Diterjemahkan oleh Budiyanto, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994.
Nindyo Pramono, Analisis Yuridis Tentang Kebijakan Penanaman Modal Asing di Indonesia. Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Edisi No. 23/XII/1995.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Alumni, Bandung, 1982.
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Perdagangan Internasional. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta, 1988.
Sumantoro, Hukum Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1986.

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Makalah Hukum dan Ekonomi"