ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN EFUSI PLEURA

Pengertian 
Efusi Pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan caiuran dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis.

Etiologi 
Berdasarkan jenis cairan yang berbentuk cairan pleura dibagi lagi menjadi transudat, eksudat dan hemoragi.

  • Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri), sindrom nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sindrom vena kava superior, tumor dan sindrom meigs.
  • Eksudat, disebabkan oleh infeksi, TB, penumonia, tumor, infark paru, radiasi dan penyakit kolagen.
  • Efusi hemoragi, dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru dan tuberkulosis.

Berdasarkan lokasi cairan yang berbentuk, efusi dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Efusi unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya akan tetapi efusi bilateral ditemukan pada penyakit kegagalan jantung kongestif, sindrom nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus sistemis, tumor dan tuberkulosis.

Patofisiologi
Normalnya hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cmH2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun (misalnya pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses peradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung dan tekanan negatif intrapleura apabila terjadi atelektasis paru (Alsagaf, 1995).

Efusi pleura berarti terjadi penumpukan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan proses akumulasi cairan di rongga pleura terjadi akibat beberapa proses yang meliputi (Guyton dan Hall, 1997) :


  • Adanya hambatan drainase limfatik dari rongga pleura.
  • Gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudat cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura.
  • Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma juga memungkinkan terjadinya transudasi cairan yang berlebihan.
  • Adanya proses infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura dapat menyebabkan pecahnya membran kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga secara cepat.


Pathway 

Infeksi pada tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran pernapasan menuju alveoli, sehingga terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini, akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfangitis regional).

Peradangan pada saluran getah bening akan memengaruhi permeabilitas membran. Permeabilitas membran akan meningkat dan akhirnya menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya efusi pleura akibat dari tuberkulosis paru melalui fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. 

Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkulosis paru adalah eksudat yang berisi protein dan terdapat pada cairan pleura akibat kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serosa, namun kadang-kadang bisa juga hemarogi.

Pengkajian Keperawatan
#1 Anamanesis

Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan, pekerjaan klien dan asuransi kesehatan.
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong klien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. 

Biasanya pada klien dengan efusi pleura didapatkan keluhan berupa sesak napas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritis akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokalisasi terutama pada saat batuk dan bernapas serta batuk nonproduktif.

Riwayat penyakit saat ini

Klien dengan efusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya keluhan seperti batuk, sesak napas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada, dan berat badan menurun. Perlu juga dinyatakan sejak kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhan tersebut.

Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan pula, apakah klien pernah menderita penyakit seperti TB paru, pneumonia, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainnya. Hal ini perlu diketahui untuk melihat ada tidaknya kemungkinan faktor predisposisi.

Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang mungkin dapat menyebabkan efusi pleura seperti kanker paru, asma, TB paru dan lain sebagainya.

#2. Pengkajian Psikososial

Pengkajian psikososial meliputi apa yang dirasakan klien terhadap penyakitnya,  bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku klien terhadap tindakan yang dilakukan kepada dirinya.

#3. Pemeriksaan Fisik

a. Breathing 
Pertama : Inspeksi 
Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan yang disertai penggunaan otot bantu pernapasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan sputum purulen.

Kedua : Palpasi
Pendorongan mediastinum ke arah hemitoraks kontralateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus cordis.  Taktil fremitus menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya >300 cc. di samping itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.

Ketiga : Perkusi
Suara perkusi redup hingga pekak tergantung dari jumlah cairannya

Keempat : Auskultasi
Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit. Pada posisi duduk, cairan semakin ke aras semakin tipis.

b. Blood

Pada saat dilakukannya inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus cordis normal yang berada pada ICS 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pergeseran jantung.

Palpasi dilakukan untuk menghitung frekuensi jantung (heart rate) dan harus memerhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung. Selain itu, perlu juga memeriksa adanya thrill, yaitu getaran ictus cordis. Tindakan perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung daerah mana yang terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan apakah terjadi pergeseran jantung karena pendorongan cairan efusi pleura. Auskultasi dilakukan untuk menentukan bunyi jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung, serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.

c. Brain

Pada saat dilakukannya inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji, setelah sebelumnya diperlukan pemeriksaan GCS untuk menentukan apakah klien berada dalam keadaan compos mentis, somnolen, atau koma. Selain itu fungsi-fungsi sensorik juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.

d. Bladder

Pengukuran volume output urine dilakukan dalam hubungannya dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria, karena itu merupakan tanda awal syok.

e. Bowel

Pada saat inspeksi, hal yang perlu diperhatikan adalah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilikus atau tidak, selain itu juga perlu diinspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa. Pada klien biasanya didapatkan indikasi mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.

f. Bone
Hal yang perlu diperhatikan adalah adakah edema peritibial, feel pada kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer, serta dengan pemeriksaan capillarry refill time. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekuatan otot untuk kemudian dibandingkan antara bagian kiri dan kanan.

Pemeriksaan Diagnostik

#1. Pemeriksaan radiologi

Pada fluoroskopi maupun foto thoraks PA cairan yangkurang dari 300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukan kostofrenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun cairan pleura lebih dari 300 cc, frenicocostalis tampak muncul dan diafragma kelihatan meninggi. Untuk memastikannya, perlu dilakukan dengan foto thoraks lateral dari sisi yang sakit (lateral dekubitus). 

Foto ini akan memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit. Pemeriksaan radiologi foto thoraks juga diperlukan sebagai monitor atas intervensi yang telah diberikan dimana keadaan keluhan klinis yang membaik dapat lebih dipastikan dengan penunjang pemeriksaan foto thoraks.

#2. Biopsi pleura

Biopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura melalui bipsi jalur perkutaneus. Biopsi ini dilakukan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan tumor pleura).

Pengukuran fungsi paru (spirometri)
Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke kepasitas total paru, dan penyakit pleural pada tuberkulosis kronis tahap lanjut.

#3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang spesifik adalah dengan memeriksa cairan pleura agar dapat menunjang intervensi lanjutan. Analisis cairan pleura dapat dinilai untuk mendeteksi kemungkinan penyebab dari efusi pleura.

Pemeriksaan cairan pleura hasil thoraksentesis secara makroskopis biasanya dapat berupa cairan hemoragi, eksudat dan transudat.


  • Haemorrhagic pleural efusion, biasanya terjadi pada klien dengan adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh tuberkulosis.
  • Yellow exudate pleural efusion, terutama terjadi pada keadaan gagal jantung kongesif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis konstriktif.
  • Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada klien dengan keganasan ekstrapulmoner.


Penatalaksanaan Medis 

Pengelolaan efusi pleura ditujukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengosongan cairan (thorakosentesis). Indikasi untuk melakukan thorakosentesis adalah : 


  • Menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura.
  • Bila terapi spesifik pada penyakit premier tidak efektif atau gagal. 
  • Bila terjadi reakumulasi cairan.

Pengambilan pertama cairan pleura, tidak boleh lebih dari 1000 cc, karena pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan edema paru yang ditandai dengan batuk dan sesak. 

Kerugian thorakosentesis adalah  


  • Dapat menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan pleura
  • Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura
  • Dapat terjadi pneumotoraks


Diagnosis Keperawatan


  • Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
  • Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal/faringeal. 
  • Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penuruann kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membran alveolar kapiler.
  • Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh dan penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen.
  • Gangguan ADL (Activity Daily Living) yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan keletihan sekunder akibat adanya sesak napas.
  • Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas)
  • Gangguan pola tidur dan istirahat yang berhubungan dengan batuk yang menetap dan sesak napas serta perubahan suasana lingkungan.
  • Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.


Rencana Intervensi 

Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.

Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.
Kriteria evaluasi : Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalam batas normal, pada pemeriksaan Rontgen thoraks tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, dan bunyi napas terdengar jelas.

Rencana Intervensi :

  • Identifikasi faktor penyebab : Dengan mengidentifikasi penyebab, kita dapat menentukan jenis pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
  • Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernapasan, serta melaporkan setiap perubahan yang terjadi : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien.
  • Baringkan klien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60-90 derajat atau miringkan ke arah sisi yang sakit.
  • Penurunan diafragma dapat memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal. Miring ke arah sisi yang sakit dapat menghindari efek penekanan gravitasi cairan sehingga ekspansi dapat maksimal.
  • Observasi tanda-tanda vital (nadi dan pernapasan) : Peningkatan frekuensi napas dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
  • Lakukan auskultasi suara napas tiap 2-4 jam : Auskultasi dapat menentukan kelainan suara napas pada bagian paru
  • Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan napas dalam yang efektif : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau napas dalam. Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
  • Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto thoraks : Pemberian O2 dapat menurunkan bahan pernapasan dan mencegah terjadinya siamosis akibat hipaksia. Dengan foto thoraks, dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.
  • Kolaborasi untuk tindakan thorakosentesis

Tindakan thorakosentesis atau fungsi pleura bertujuan untuk menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal/faringeal. 
Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi, bersihan jalan napas kembali efektif.

Kriteria evaluasi : klien mampu melakukan batuk efektif, pernapasan klien normal (16-20x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu napas, bunyi napas normal, rh-/- dan pergerakan pernapasan normal. 

Rencana intervensi : 

  • Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu napas)
  • Penurunan bunyi napas menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi sekret dan ketidakefektifan pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot bantu napas dan peningkatan kerja pernapasan. 
  • Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter dan volume sputum : Pengeluaran akan sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat) 
  • Berikan posisi semifowler/fowler tinggi dan bantu klien latihan napas dalam dan batuk efektif : Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan. 
  • Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi 


Obat antibiotik 
antibiotik yang ideal adalah dengan adanya dasar dari tes uji resistensi kuman terhadap jenis antibiotik sehingga lebih mudah untuk mengobati pneumonia. 

Agen mukolitik 
Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru untuk memudahkan pembersihan.

Brankodilator : jenis aminoflivin via intravena 
Bronkodilator meningkatkan diameter lumen percabangan trakheobronkhial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara

Kortikosteroid 
Kartikosteroid berguna pada hipoksemia dengan keterlibatan luas dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN EFUSI PLEURA"

Posting Komentar