MENGUKUR KINERJA ORGANISASI KECAMATAN

Latar Belakang Masalah 

Dengan diberlakukannya Undang – Undang 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang – Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bangsa Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar dari berbagai bidang termasuk di dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Undang – Undang 32 tahun 2004 memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah Daerah di dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Undang-undang ini diidentifikasi diantaranya adalah menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat daerah otonom, yaitu Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah otonom (desentralisasi), dan bukan sebagai aparat dekonsentrasi.

Sebagai konsekwensi dari perubahan ini maka kecamatan tidak lagi menjalankan urusan-urusan dekonsentrasi yang merupakan urusan-urusan pemerintah pusat yang ada di daerah. Camat tidak lagi menjadi kepala wilayah yang merupakan wakil pemerintah pusat yang menjadi penguasa tunggal dibidang pemerintahan dalam wilayahnya yang memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat disegala bidang. 
Disisi lain, pelaksanaan otonomi di daerah pada hakekatnya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah kecamatan adalah organisasi yang paling depan berhadapan dengan masyarakat, sudah selayaknyalah organisasi ini mendapat perhatian lebih jauh lagi dengan cara “memberdayakan” pemerintahan kecamatan.
Kinerja suatu birokrasi publik merupakan suatu isu yang sangat aktual yang terjadi pada masa sekarang ini. Masyarakat masih memandang kinerja dari birokrasi publik pada saat ini belum bisa memberikan rasa kepuasan yang tinggi, sehingga menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan menjadi sorotan yang tajam, terutama dalam aspek transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas. Kinerja organisasi yang telah dilaksanakan dengan tingkat pencapaian tertentu tersebut seharusnya sesuai dengan misi yang telah ditetapkan sebagai landasan untuk melakukan tugas yang diemban. Dengan demikian kinerja (performance) merupakan tingkat pencapaian hasil. 

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut : 

  • Apa yang dimaksud dengan kinerja suatu organisasi Kecamatan ?
  • Bagaimana mengukur kinerja organisasi Kecamatan ?



PEMBAHASAN

Untuk dapat mempelajari kinerja suatu organisasi, harus diketahui ukuran keberhasilan untuk menilai kinerja tersebut. Sehingga indikator atau ukuran kinerja itu tentunya harus dapat merefleksikan tujuan dan misi dari organisasi yang bersangkutan, karena itu berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Bagi suatu organisasi privat yang tujuan pembentukannya adalah memproduksi barang untuk mendapatkan keuntungan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar ia mampu memproduksi (productivity) dan seberapa besar keuntungan yang diraih (economy). Indikator berikutnya adalah efisiensi dan efektifitas proses yang dilakukan.
Keban berpendapat bahwa untuk mengukur kinerja organisasi publik dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu : pendekatan managerial dan pendekatan kebijakan. Dengan asumsi bahwa efektifitas dari tujuan organisasi publik tergantung dari dua kegiatan pokok tersebut, yaitu : public management and policy (manajemen publik dan kebijakan).

Cakupan dan cara mengukur indikator kinerja sangat menentukan apakah suatu organisasi publik dapat dikatakan berhasil atau tidak. Lebih lanjut Keban menjelaskan bahwa ketepatan pengukuran seperti cara atau metode pengumpulan data untuk mengukur kinerja juga sangat menentukan penilaian akhir kinerja.
Whittaker menyebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja mempunyai makna ganda, yaitu pengukuran kinerja sendiri dan evaluasi kinerja, di mana untuk melaksanakan kedua hal tersebut terlebih dahulu harus ditentukan tujuan dari suatu program secara jelas. Pengukuran kinerja merupakan jembatan antara perencanaan strategis dengan akuntabilitas, sehingga suatu pemerintah daerah dapat dikatakan berhasil jika terdapat bukti-bukti atau indikator-indikator atau ukuran-ukuran capaian yang mengarah pada pencapaian misi. Teknik dan metode yang digunakan dalam menganalisis kinerja kegiatan, yang pertama-tama dilakukan adalah dengan melihat sejauh mana adanya kesesuaian antara program dan kegiatannya. Program dan kegiatan merupakan program dan kegiatan sebagaimana yang tertuang dalam perencanaan strategis Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Sementara itu, Bernadin mengatakan bahwa sistem penilaian kinerja harus disusun dan diimplementasikan dengan suatu 1) prosedure formal standar;yang 2) berbasis pada analisis jabatan; dan 3) hasilnya didokumentasikan dengan baik; dengan 4) penilai yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Banyak pendapat mengenai pengukuran kinerja, pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan metode Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Metode ini menggunakan indikator kinerja sebagai dasar penetapan capaian kinerja. Untuk pengukuran kinerja digunakan formulir Pengukuran Kinerja (PK) . Penetapan indikator didasarkan pada masukan (inputs), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Sependapat dengan hal tersebut, bahwa dalam mengukur kinerja suatu program, tujuan dari masing-masing program harus disertai dengan indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur kemajuan dalam pencapaian tujuan tersebut. Indikator kinerja didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif dan / atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan diukur dan dihitung serta digunakan sebagai dasar untuk menilai maupun melihat tingkat kinerja suatu program yang dijalankan unit kerja. Dengan demikian, tanpa indikator kinerja, sulit bagi kita untuk menilai kinerja (keberhasilan atau kegagalan) kebijaksanaan / program/ kegiatan dan pada akhirnya kinerja instansi / unit kerja yang melaksanakan.
Pada umumnya sistem ukuran kinerja dipecah dalam 5 (lima) kategori sebagai berikut:


  • indikator input, mengukur sumber daya yang diinvestasikan dalam suatu proses, program, maupun aktivitas untuk menghasilkan keluaran (output maupun outcome). Indikator ini mengukur jumlah sumberdaya seperti anggaran (dana), sumber daya manusia, informasi, kebijaksanaan/peraturan perundang-undangan dan sebagainya yang dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumber daya, suatu lembaga dapat menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
  • indikator output adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari sesuatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan / atau non fisik. Indikator ini digunakan untuk mengukur output yang dihasilkan dari suatu kegiatan. Dengan membandingkan output yang direncanakan dan yang betul-betul terealisir, instansi dapat menganalisis sejauh mana kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana. Indikator output hanya dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Oleh sebab itu, indikator output harus sesuai dengan lingkup dan kegiatan instansi.
  • Indikator outcome, adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output (efek langsung) pada jangka menengah. Dalam banyak hal, informasi yang diperlukan untuk mengukur outcome seringkali tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karena itu, setiap instansi perlu mengkaji berbagai pendekatan untuk mengukur outcome dari output suatu kegiatan. Pengukuran indikator outcome seringkali rancu dengan pengukuran indikator output. Contohnya, penghitungan jumlah bibit unggul yang dihasilkan oleh sesuatu kegiatan merupakan tolok ukur output. Akan tetapi perhitungan besar produksi per hektar yang dihasilkan oleh bibit-bubit unggul tersebut merupakan indikator outcome.
  • Indikator benefit, menggambarkan manfaat yang diperoleh dari indikator outcome. Benefit (manfaat) tersebut pada umumnya tidak segera tampak. Setelah beberapa waktu kemudian, yaitu dalam jangka menengah atau jangka panjang dari benefitnya tampak. Indikator benefit menunjukan hal-hal yang diharapkan untuk dicapai bila output dapat diselesaikan dan berfungsi dengan optimal (tepat lokasi dan tepat waktu).
  • Indikator impact memperlihatkan pengaruh yang ditimbulkan dari benefit yang diperoleh. Seperti halnya indikator benefit, indikator impact juga baru dapat diketahui dalam jangka waktu menengah atau jangka panjang. Indikator impact menunjukan dasar pemikiran dilaksanakannya kegiatan yang menggambarkan aspek makro pelaksanaan kegiatan, tujuan kegiatan secara sektoral, regional dan nasional.

Pengukuran kinerja atau hasil karya merupakan alat manajemen untuk menilai keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang bersangkutan. Pengukuran kinerja selalu perlu diperhitungkan kembali dengan visi dan misi organisasi serta tujuan dan sasaran organisasi.

Pengukuran kinerja tidak hanya ditujukan untuk memberi sangsi kepada komponen organisasi tertentu mengingat bahwa penetapan tujuan dan sasaran dalam perencanaan strategik telah melibatkan faktor – faktor strategik organisasi yang berada di luar kendali manajemen. Sistem pengukuran kinerja organisasi pada dasarnya merupakan kerangka kinerja untuk akuntabilitas kinerja dan pengambilan keputusan organisasi.

Adapun beberapa cara pengukuran kinerja antara lain adalah membandingakan kinerja nyata dengan kinerja yang direncanakan, membandingkan kinerja nyata dengan hasil yang diharapakan, membandingkan kinerja tahun ini dengan kinerja tahun – tahun sebelumnya, membandingkan kinerja suatu instansi dengan kinerja organisasi lain dan membandingkan kinerja nyata dengan standar kinerja.

Selim & Woodward mengatakan bahwa kinerja dapat diukur dari beberapa indikator antara lain workload/demand, economy, efficiency, effectiveness, dan equity. Lenvine mengusulkan tiga konsep yang bisa dipergunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik/organisasi non bisnis yaitu :, Responsibility responsivitas dan accountability. Yang dimaksud responsivitas (responsiveness) disini adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik maka kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik. 

Responsibilitas (responsibility) disini menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijaksanaan organisasi baik yang implisit atau eksplisit. Semakin kejelasan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan dan kebijaksanaan organisasi, maka kinerjanya dinilai semakin baik. Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik yang memihak pada kepentingan masyarakat, karena tujuan organisasi publik adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sesuai pendapat tersebut diatas setiap organisasi / lembaga pemerintah baik yang berhapan langsung maupun tidak yang berhadapan langsung dengan masyarakat harus melaporkan segala kegiatan yang dilakukan kepada yang memberi wewenang. Laporan tersebut tidak terbatas pada laporan secara tertulis saja, tetapi mencakup secara langsung seperti kemudahan kemudahan – kemudahan pemberi mandat memperoleh informasi dari yang diberi mandat sehingga keterbukaan dalam pelaksanaan kegiatan dari instansi pemerintah itu dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa akuntabilitas sangat penting didalam pengukuran kinerja di organisasi publik.
Setiap organisasi publik yang melayani masyarakat baik secara langsung harus tanggap apa keinginan / tuntutan masyarakat karena pada dasarnya tujuan organisasi publik adalah melayani kepentingan masyakat. Oleh sebab itu responsivitas/daya tanggap dari organisasi pemerintah mutlak diperlukan dalam mengakomodir kepentingan masyarakat. Sesuai dengan hal tersebut responsivitas dapat dijadikan ukuran yang tepat untuk mengetahui kinerja dari organisasi pemerintah.

Didalam mencapai tujuan dari organisasi, diperlukan pemahaman mengenai tugas dan fungsinya. Pelaksanaan kegiatan harus sesuai dengan program yang telah disusun sebelumnya, sehingga visi misi dari organisasi dapat tercapai.

Untuk itu, instansi pemerintah harus benar – benar memvisualisasikan peraturan dan prosedur yang berlaku, sehingga pencapaiaan hasil dari kegiatan tidak keluar dari tujuan organisasi tersebut.

Tingkat pencapaian hasil dari pelaksanaan kegiatan organisasi merupakan hal yang diperlukan didalam organisasi. Hal tersebut untuk mengetahui sejauhmana tujuan organisasi dapat tercapai sehingga dapat memberi dampak dari pelaksanaan kegiatan apakah sesuai dengan tujuan dan sasaran dari organisasi atau tidak, sehingga efektivitas akan tercapai dan kekurangan dari pelaksanaan kegiatan tersebut dapat diperbaiki sebagai evaluasi pelaksanaan selanjutnya.

#1. Efektivitas.

Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan. Dalam artian efektivitas merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang ditetapkan. Dalam pengertian teoritis atau praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan “Efektivitas”. Bagaimanapun definisi efektivitas berkaitan dengan pendekatan umum. Bila ditelusuri efektifitas berasal dari kata dasar efektif yang artinya: (3) Ada efeknya (pengaruhnya, akibatnya, kesannya) seperti: manjur; mujarab; mempan (4) Penggunaan metode/cara, sarana/alat dalam melaksanakan aktivitas sehingga berhasil guna (mencapai hasil yang optimal) Sedangkan menurut Kumorotomo adalah menyangkut apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai ? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasional teknis, nilai, misi tujuan organisasi serta fungsi agen pembangungan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya,pengaruhnya), dapat membawa hasil, berhasil guna (tindakan) serta dapat pula berarti mulai berlaku (tentang undang- undang/peraturan). Menurut Gibson efektivitas adalah : Penilaian yang dibuat sehubungan dengan prestasi individu, kelompok, dan organisasi. Makin dekat prestasi mereka terhadap prestasi yang diharapkan (standar), maka makin lebih efektif dalam menilai mereka. Dari pengertian tersebut di atas dari sudut pandang bidang perilaku keorganisasian maka dapat diidentifikasikan tiga tingkatan analisis yaitu: (1) individu, (2) kelompok, (3) organisasi. Ketiga tingkatan analisis tersebut sejalan dengan ketiga tingkatan tanggung jawab manajerial yaitu bahwa para manajer bertanggung jawab atas efektivitas individu, kelompok dan organisasi.
Pencapaian hasil (efektivitas) yang dilakukan oleh suatu organisasi menurut Jones terdiri dari tiga tahap, yakni input, conversion, dan output atau masukan, perubahan dan hasil. Input meliputi semua sumber daya yang dimiliki, informasi dan pengetahuan, bahan-bahan mentah serta modal. Dalam tahap input, tingkat efisiensi sumber daya yang dimiliki sangat menentukan kemampuan yang dimiliki. Tahap conversion ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, manajemen dan penggunaan teknologi agar dapat menghasilkan nilai. Dalam tahap ini, tingkat keahlian SDM dan daya tanggap organisasi terhadap perubahan lingkungan sangat menentukan tingkat produktifitasnya. Sedangkan dalam tahap output, pelayanan yang diberikan merupakan hasil dari penggunaan teknologi dan keahlian SDM. Organisasi yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara efisien dapat meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan dengan memuaskan kebutuhan pelanggan.
Kantor Kecamatan Kedawung dengan potensi yang ada harus mampu melaksanakan tugas sesuai dengan program yang ada. Dengan sumber daya yang dimiliki perlu dioptimalkan sehingga program kerja yang dilaksanakan akan sesuai dengan tujuan dari kantor Kecamatan Kedawung.

#2. Akuntabilitas

Dilihat dari dimensi ini kinerja tidak bisa hanya dilihat dari ukuran internal organisasi, seperti pencapai target. Kinerja sebaliknya harus dilihat dari ukuran eksternal seperti nilai dan norma masyarakat. Lembaga Administrasi Negara mengartikan Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

Menurut Ghartey, akuntablitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan siapa yang bertanggungjawab terhadap berbagai kegiatan dan lain sebagainya.

Lebih jauh Agus Dwiyanto mengemukakan bahwa Dalam konteks Indonesia, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Karena itu dilihat dari dimensi ini, kinerja organisasi publik tidak bisa hanya dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaliknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

Dari pendapat dan penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa kinerja organisasi dianggap atau mempuyai akuntabilitas yang baik apabila organisasi tersebut dalam melaksanakan kegiatannya tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jadi penilaian akuntabilitas ini lebih legitimet apabila telah memenuhi acuan-acuan yang ada dimasyarakat.

Kantor Kecamatan secara moral dan faktual ikut bertanggungjawab atas kelancaran jalannya roda pemerintahan di daerah demi pelayanan kepada masyarakat. Dalam mengatur dan mengurus pemerintahan dikecamatan, harus benar-benar sesuai dengan kepentingan masyarakat dan berdasarkan aspirasi masyarakat, serta tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, Kantor Kecamatan harus memperhatikan apakah pelaksanaan fungsinya telah sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat, menguntungkan rakyat dan memperdulikan rasa keadilan. Maka harus ada pertanggungjawaban secara moral kepada masyarakat, dengan kata lain menunjukkkan bahwa dalam konsep akuntabilitas disamping mengandung memper-tanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemberi kebijakan dan melalui melakaneisme pemberi kebijakan tersebut dapat pertanggungjawaban kepada masyarakat, sehingga dapat dirumuskan bahwa organisasi memiliki akuntabilitas yang tinggi jika kegiatan dan pelaksanaan fungsinya dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi kebijakan.

Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa akuntabilitas adalah salah satu ukuran kinerja Kantor Kecamatan untuk melihat seberapa besar kegiatan pelaksanaan tugas dan fungsi yang diberikan oleh atasan dan nantinya oleh pemberi kebijakan dipertanggungjawabkan kepada publik melalui mekanisme yang sudah ditentukan.

#3. Responsivitas

Responsivitas sebagai salah satu indikator untuk mengukur kinerja pelayanan publik, secara sederhana dapat diartikan mau mendengarkan saran. Menurut pengertian ini terlihat adanya komunikasi dalam bentuk aspirasi atau kehendak dari satu pihak kepada pihak lain serta memperhatikan apa yang disampaikan oleh komunikan.

Pentingnya responsivitas dalam hubungannya dengan penilian kinerja yaitu : ”Dalam kaitannya dengan penilaian kinerja pelayanan publik, responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bentuk kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda, memperioritaskan pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat”.

Suatu organisasi yang mempunyai peran pelayanan publik dituntut harus peka terhadap apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas (responsivity) menurut S.P Siagian adalah kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan meghadapi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru dan pengetahuan baru, birokrasi harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Berpedoman pada pendapat di atas, bahwa organisasi publik harus mampu dan mau mendengarkan serta peka terhadap apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi masyarakat. Tingkat responsivitas yang akan diteliti adalah kemampuan organisasi Kantor Kecamatan dalam merespon persoalan yang muncul, dalam proses pelaksanaan tugas dan fungsi untuk kemudian dikembangkan dan dituangkan dalam kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Organisasi yang memiliki responsivitas yang rendah dengan sendirinya menunjukkan kinerja yang jelek dan menunjukkan kegagalan organisasi.


KESIMPULAN 

Berdasarkan uraian pembahasan di atas,maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa untuk mengukur kinerja organisasi kecamatan adalah sebagai berikut : 


  • Sikap dan produk dari kantor Kecamatan yang dihasilkan harus dapat merefleksikan dinamika dan aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Artinya dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat, memberi pelayanan dan kepuasan kepada masyarakat serta mampu memecahkan masalah yang dihadapi.
  • Disamping itu, pemahaman terhadap tugas – tugas dan fungsi dari masing – masing seksi juga sangat diperlukan. Suatu organisasi dituntut untuk peka terhadap tugas dan funsinya baik secara invidu maupun secara organisasi dan juga tugas – tugas lain yang diberikan oleh atasan sehingga tujuan dari organisasi yang dalam hal ini kantor Kecamatan akan tercapai.


DAFTAR PUSTAKA


  • Arif, Mulyadi, 2006,  Manajemen Stratejik, Perencanaan dan  Manajemen Kinerja, Pretasi Pustaka, Jakarta
  • Dwiyanto, Agus. 1995. “Penilaian Kinerja Organisasi Publik”. Seminar Kinerja Organisasi Sektor  Publik, Kebijakan  dan  Penerapannya,  Jurusan  Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
  • Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Yogyakarta : PSKK UGM.
  • Keban, Yeremias. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep Teori Dan Isu. Yogyakarta : Gava Media
  • Undang – Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "MENGUKUR KINERJA ORGANISASI KECAMATAN"

Posting Komentar