PERAN BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM MENINGKATKAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT

Latar Belakang Masalah

Perbankan, salah satu sektor yang diharapkan berperan aktif dalam menunjang kegiatan pembangunan nasional atau regional. Peran itu diwujudkan dalam fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi atau institusi perantara antara debitor dan kreditor. Dengan demikian, pelaku ekonomi yang membutuhkan dana untuk menunjang kegiatannya dapat terpenuhi dan kemudian roda perekonomian bergerak


Lembaga Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.


Di BRI sendiri, micro finance didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Terdapat masih banyak lagi definisi micro finance atau keuangan mikro tergantung dari sudut pembicaraan.


Bagaimanapun, target atau segmen micro finance senantiasa bersentuhan dengan masyarakat yang relatif miskin atau berpenghasilan rendah Program P4K yang ditangani di BRI mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka petani nelayan kecil (PNK) dan penduduk pedesaan lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan kriteria pendapatannya maksimum setara dengan 320 kg beras per kapita per tahun.


Menurut Marguiret Robinson (2000), meningkatkan perekonomian masyarakat dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk didalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.


Pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu yang ampuh dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, ketika pinjaman diberikan kepada mereka yang sangat miskin, kemungkinan besar pinjaman tersebut tidak akan pernah kembali. Hal ini wajar saja, mengingat mereka (the extreme poor) tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Program pangan dan penciptaan lapangan kerja lebih cocok untuk masyarakat sangat miskin tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) atau masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income), mereka memiliki penghasilan, meskipun tidak banyak. Untuk itu diperlukan pendekatan, program subsidi atau jenis pinjaman mikro yang tepat untuk masing-masing kelompok masyarakat miskin tersebut.


Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan khususnya bank umum.


Pada lembaga keuangan mikro ini dapat menumbuhkan minat masyarakat di pedesaan untuk berusaha atau menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil di pedesaan, yang pada akhirnya dapat membantu program pemerintah untuk :


  1. Meningkatkan produktivitas usaha masyarakat kecil di pedesaan. 
  2. Meningkatkan pendapatan penduduk desa. 
  3. Menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan, sehingga dapat memperkecil keinginan masyarakat pedesaan melakukan urbanisasi. 
  4. Menunjang program pemerintah dalam mengupayakan pemerataan pendapatan penduduk desa dan upaya pengentasan kemiskinan. 

PERAN BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

Lembaga keuangan mempunyai fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas suatu perekonomian. Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah. Aktifitas ekonomi disini tidak membedakan antara usaha yang dilaksanakan tersebut besar atau kecil, karena yang membedakan hanya besarnya nilai tambah berdasarkan skala usaha. Hal ini berarti bahwa usaha kecilpun jika memanfaatkan lembaga keuangan juga akan memberikan kenaikan nilai tambah, sehingga upaya meningkatkan pendapatan masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara yang produktif dengan memanfaatkan jasa intermediasi lembaga keuangan, termasuk usaha produktif yang dilakukan oleh masyarakat miskin.


Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment dari pemerintah misalnya, program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana, maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.


Secara hipotesis, kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro (Krisna Wijaya: 2005).


Menurut Marguiret Robinson (2000), pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu upaya yang ampuh dalam menangani kemiskinan. Hal tersebut didasarkan bahwa pada masyarakat miskin sebenarnya terdapat perbedaan klasifikasi diantara mereka, yang mencakup: pertama, masyarakat yang sangat miskin (the extreme poor) yakni mereka yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif, kedua, masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor), dan ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.

1. Peran Bank


Peranan Perbankan dalam Perekonomian Nasional, menghadapi krisis kepercayaan, upaya yang ditempuh oleh Pemerintah dan Bank Indonesia pada waktu itu adalah bagaimana menata kembali kinerja perbankan nasional melalui berbagai upaya restrukturisasi dan penyehatan.


Kita bersyukur bahwa kita telah dapat melalui tahapan tersebut dengan baik. Program restrukturisasi perbankan yang telah dicanangkan sejak tahun 1998, pada tahun 2003 lalu telah menunjukkan hasil yang positif. Kondisi kesehatan perbankan pun mulai membaik. Perkembangan ini terutama dapat kita lihat pada menguatnya struktur permodalan, menurunnya jumlah kredit bermasalah, dan meningkatnya profitabilitas. Mulai tahun 2004 ini, kita juga telah menyusun sebuah rencana tindak di bidang restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan dan stabilisasi ekonomi makro yang kita kenal dengan White Paper.


Posisi perbankan sendiri di dalam perekonomian bangsa sangatlah strategis. Kontribusi perbankan dalam industri keuangan juga sangat signifikan. Dari data yang ada pada kami total aset perbankan nasional mencapai Rp.1.142 T atau 90 % dari seluruh asset industri keuangan, diluar pasar modal (saham dan obligasi). Total asset perusahaan pembiayaan masih sekitar Rp47,2 T, omzet Perum Pegadaian baru mencapai Rp.8.8 T, sedangkan portfolio reksadana walaupun berkembang pesat juga baru sekitar Rp.69.5 T.


Pentingnya peranan bank dalam perekonomian dan besarnya tingkat kepercayaan masyarakat yang harus dijaga dalam industri ini menyebabkan perbankan menjadi industri yang paling banyak dan ketat diatur (heavily regulated). Setiap ketentuan yang dibuat di industri perbankan pada akhirnya akan bermuara pada satu tujuan, yakni menghasilkan sistem perbankan yang sehat, kuat dan stabil. Dengan demikian bank dapat menjalankan fungsi financial intermediary dengan optimal.






Untuk mencapai tujuan ini, disamping melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap perbankan secara konsisten, Bank Indonesia sejak awal tahun ini juga menentukan arah hendak kemana perbankan kita menuju. Arah itu tertuang dalam apa yang dinamakan Arsitektur Perbankan Indonesia(API). API adalah suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan bagi industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Dengan kata lain, API adalah sebuah direction bagi perbankan dan juga bagi masyarakat dalam melihat posisi perbankan kita di masa depan.


2. Peran Lembaga Keuangan


Kebijakan Pemerintah Indonesia, telah berpengaruh secara nyata terhadap sistem pemerintahan dan keuangan. Dari sentralisasi kepada desentralisasi. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999, dimana pemberian kewenangan otonomi daerah tersebut adalah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, termasuk dalam hal ini terutama adalah kewenangan dalam desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999.


Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengandung suatu implikasi bahwa transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menunjukkan jumlah yang semakin besar, sehingga kemampuan keuangan daerah meningkat disertai dengan peningkatan kewenangan dalam pengelolaannya.


Dampak dari kebijakan otonomi daerah telah menimbulkan peluang peningkatan kegiatan perekonomian daerah, terutama di daerah luar Jawa, yang selama ini mengalami ketinggalan dibanding Jakarta atau Jawa. Kegiatan bisnis daerah yang semakin berkembang tersebut pada gilirannya akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah, termasuk dalam hal ini adalah lembaga keuangan mikro dan perbankan. Kehadiran mereka diharapkan akan semakin meningkatkan bisnis daerah yang bersangkutan, melalui berbagai produk yang ditawarkannya.


Secara klasik, sebagai intermediary institutiuon, lembaga keuangan menjalankan kegiatannya dalam bentuk penghimpunan dana dari pihak yang mengalami surplus dana melalui produk saving, dan menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang mengalami defisit dana melalui produk lending.


Memperhatikan kondisi geografis daerah di Indonesia yang sangat luas dan tesebar dalam banyak pulau, serta mengingat pasar sektor riil yang hampir seluruhnya merupakan usaha mikro / UKM, maka agar fungsi lembaga keuangan mikro dalam menggerakkan kegiatan perekonomian daerah dapat berjalan secara optimal, lembaga keuangan mikro harus memenuhi kualifikasi :


a. memiliki jaringan kerja yang kuat.


b. fungsi sebagai payment gateway berjalan dengan baik.


c. memahami kebutuhan Pemerintah Daerah dan bisnis masyarakat setempat.


Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut diatas, BRI sebagai lembaga keuangan atau bank yang berpengalaman berhubungan dengan pemerintah daerah dan bisnis mikro, tidak semata-mata menjalankan fungsi klasik perbankan. Disamping menawarkan beragam produk yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar keuangan mikro khususnya, BRI melakukan optimalisasi pendapatan nasabah, simpanan serta optimalisasi pembiayaan nasabah pinjaman. BRI juga menyediakan berbagai layanan dalam rangka peningkatan capacity building nasabah. Antara lain melalui program peningkatan accessibility nasabah, program pendampingan UKM maupuan inclass training.


Dalam rangka optimalisasi pendapatan PEMDA, dana yang dimiliki PEMDA harus dikelola dengan baik agar penggunaannya dapat dilakukan secara efektif dan bahkan mendatangkan pendapatan. Untuk tujuan tersebut BRI menawarkan kerjasama dalam bentuk manajemen kas, antara lain dalam bentuk pembayaran gaji. Melalui kerjasama ini selain akan mengurangi beban administrasi PEMDA, kerjasama ini juga akan memberikan kemudahan bagi karyawan PEMDA tersebut dalam menarik dana gajinya melalui outlet BRI yang tersebar sampai pelosok kecamatan.


Dalam rangka optimalisasi dibidang pembiayaan, BRI telah mengembangkan berbagai produk dan pelayanan bagai pengembangan perekonomian daerah, baik yang ditujukan kepada PEMDA setempat maupun, kepada sektor rill di daerah.

Kiprah BRI dalam melayani masyarakat menengah kebawah Kinerja BRI fokus pada mikro dan UKM


Sejak didirikan, BRI memiliki misi dalam pengembangan perekonomian rakyat yang mana, pada saat ini dipertegas lagi dengan memfokuskan kepada bisnis usaha mikro dan menengah (UMKM). Konsistensi BRI dalam memberikan pelayanan kepada rakyat kecil tersebut dapat dilihat dari komposisi kredit UMKM dalam portfolio kredit BRI yang terus meningkat dari 80.14% pada Desember 2000, meningkat menjadi 84.16 pada Desember 2001 dan 85.71% pada Maret 2002. Sebaliknya, komposisi kredit korporasi mengalami penurunan secara bertahap.


Badan Kredit Desa boleh dibilang sebagai tonggak sejarah berdirinya Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Diawali dengan berdirinya Lumbung Desa (LD) pada tahun 1897 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat, Lumbung Desa dan Bank Desa inilah kemudian dikenal dengan nama Badan Kredit Desa (BKD), yang merupakan cikal bakal berdirinya Lembaga Perkreditan Kecil di Pedesaan atau sekarang lebih dikenal dengan istilah Lembaga Keuangan Mikro, dan lembaga ini banyak digunakan sebagai bahan studi banding oleh negara dunia ketiga dalam mengembangkan Keuangan Mikro.


BRI saat ini melaksanakan tugas sebagai pendamping atau sebagai pembina dan pengawas BKD, mulai dari bagaimana cara menilai calon peminjam, jenis cicilan pinjaman yang cocok untuk calon anggota, besarnya pinjaman anggota, mengadministrasikan usaha simpan pinjam, pengelolaan uang Kas, memberikan bantuan modal kerja, mengatur cara penggajian para Juru Tata Usaha (JTU) dan Komisi BKD, mendidik JTU dan Komisi BKD dan sebagainya.


Semua kegiatan pendampingan tersebut diatas dimaksudkan agar BKD mampu membiayai sendiri usahanya, dapat memupuk permodalan dan dapat membantu masyarakat pedesaan anggota BKD dalam meningkatkan usahanya maupun meningkatkan penghasilannya sehingga dapat meningkatkan perekonomian di pedesaan.


Setelah melihat keberhasillan BKD inilah, baru kemudian disusul berdirinya LKM-LKM lainnya baik yang didirikan oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Kelompok Masyarakat di pedesaan, seperti Lumbung Pitih Nagari di Sumatera, Lembaga Perkreditan Desa di Bali, Bank Pasar, Koperasi Simpan Pinjam, dan sebagainya. Per Oktober 2002 terdapat 4.518 Bank Kredit Desa yang tersebar di berbagai pelosok desa di Jawa Madura serta melayani sekitar 700.000 orang.


Syarat dan prosedur pelayanan di BKD relatif mudah dan cepat. Nasabah BKD adalah perorangan yang berdomisili di desa bersangkutan. Rata-rata besar pinjaman biasanya dibawah Rp 700.000. Angsuran umumnya mingguan.


BRI sebagai executing Bank telah melaksanakan pemberian kredit untuk kelompok yang dibawah garis kemiskinan atau disebut kelompok swadaya. Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil, yang jumlah anggotanya maksimum 16 orang serta telah mendapat bimbingan dan pembinaan oleh Penyuluh Pertanian. Dananya berasal dari BRI dan pinjaman dari IFAD dan ADB dimana resikonya ditanggung oleh BRI. BRI ikut mendanai dalam pemberian kredit dimaksud, selain mendapat loan dari ADB dan IFAD.


Pemberian kredit tersebut dialokasikan di 12 Propinsi dan dilayani di 123 Kantor Cabang, dimana s/d bulan Oktober 2002 BRI telah merealisir kredit sebesar Rp 638.247.560.000 atau US$ 70.916.396 (1 US$ = Rp 9000) kepada 178, 172 kelompok dengan rata-rata outstanding Rp 181.662.285.000 atau US$ 20.184.698 kepada 38.722 kelompok, dimana jumlah anggota untuk masing-masing kelompok maksimum sebanyak 16 orang. Tunggakan kredit sampai per bulan Oktober 2002 adalah 6,78%.


Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa untuk mencapai hasil yang optimal, dalam pengembangan sektor riil tersebut perlu adanya dukungan dari semua pihak, termasuk dari pemerintah daerah. Dalam era otonomi daerah, dengan berlakunya desentralisasi dibidang kewenangan pemerintah dan fiskal, dukungan PEMDA tersebut sangat diharapkan terutama dalam bentuk :


Penyediaan Dana


Dengan telah dihentikannya kucuran kredit likuiditas Bank Indonesia (KL BI), PEMDA diharapkan dapat menyediakan likuidasi pengganti sharing dengan berlakunya kebijakan desentralisasi fiskal. Untuk kelancaran penyaluran kredit likuiditas, PEMDA dapat bekerja sama dengan bank-bank didaerah setempat. PEMDA juga diharapkan dapat mendukung tersedianya fasilitas pinjaman kredit sehingga dapat memperlancar penyaluran kredit perbankan kepada sektor riil.


Keserdiaan Infra struktur dan supra struktur


Untuk meningkatkan aksesibilitas ke pelosok dan mobilitas dunia usaha, diperlukan penyediaan infra strukur yang memadai seperti transportasi laut, darat dan udara. Pembangunan pelabuhan dan bandara serta jaringan komunikasi. Percepatan pembangunan infra struktur ini berpeluang besar tercapai jika sebagian DAU dialokasikan ke bidang ini. Kualitas birokrasi daerah juga perlu ditingkatkan sedemikian rupa sehingga memiliki paradigma melayani bisnis. Hal ini nantinya tercermin dalam keberpihakan terhadap pertumbuhan bisnis melalui kesederhanaan dan kejelasan masalah perijinan usaha. Untuk mencapai hal ini maka dibutuhkan paradigma kepala daerah sebagai CEO di daerahnya. Perubahan ini perlu mengingat di era otonomi daerah, tanggung jawab manajemen daerah ada pada pimpinan setempat.


Jaminan keamanan


Keamanan merupakan faktor penting bagi perkembangan dunia usaha. Semakin rawan suatu daerah, perkembangan usaha daerah semakin terganggu, sehingga akan meningkatkan resiko dimata perbankan.


Tanpa dukungan kondusif


1. Tanpa adanya dukungan kondusif seperti tersebut diatas berdampak pada pengolahan dana yang menjadi tidak optimal.


2. Fungsi lembaga keuangan mikro sebagai financial intermediary terganggu antara lain : LDR-nya rendah.


3. Regional capital flight, dimana investor akan menarik investasinya didaerah tersebut untuk dialihkan ke daerah lain yang kondisinya lebih kondusif terhadap perkembangan usahanya.


4. Jika pertumbuhan lembaga keuangan mikro dapat didorong melalui timbulnya kesadaran sebagai rasa kebutuhan dan didukung aturan hukum yang jelas maka diharapkan akan terjadi sinergi dalam masyarakat dan pada akhirnya akan menumbuhkan aktifitas ekonomi di masyarakat desa.





Peluang Lembaga Keuangan Mikro Untuk Perekonomian Indonesia


Dengan semakin banyaknya masyarakat desa yang berusaha, dengan sendirinya akan membuka lapangan kerja baru, pendapatan penduduk desa meningkat, daya belinya meningkat, sehingga tingkat perekonomian di desa yang bersangkutan secara otomatis juga ikut meningkat, yang pada akhirnya dapat mengurangi atau mengentaskan kemiskinan di pedesaan.


Sebagai contoh untuk Bank BUMN yang telah melakukan kegiatan dimakud addalah BRI . DanPengalaman BRI dengan BRI Unitnya dan kedudukan BRI sebagai pembina dan pengawasan BKD serta sebagai anggota pelaksana proyek-proyek pemerintah untuk masyarakat miskin di Pedesaan menunjukkan bahwa tingkat kemacetan kredit yang disalurkan untuk modal kerja usaha kecil-kecilan secara umum prosentasenya kecil sekali, hal ini antara lain disebabkan karena tingkat kejujuran dan keuletan berusaha masyarakat pedesaan masih sangat tinggi.


Keuletan berusaha ini juga bisa dibuktikan dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997, dimana banyak pengusaha menengah dan besar yang gulung tikar, tetapi para pengusaha kecil di pedesaan usahanya tetap berjalan dan bahkan terus berkembang dan hal ini dapat pula dilihat dari pertumbuhan assets Lembaga Keuangan Mikro yang dibawah pembinaan BRI seperti BRI Unit dan BKD pada waktu sebelum krisis tahun 1996 sampai dengan akhir tahun 2002.


Melihat kinerja BRI selama ini, nampak bahwa pertumbuhan assets dan jumlah orang yang mendapatkan bantuan permodalan maupun jumlah pinjaman yang disalurkan terus meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi pembentukan lembaga keuangan mikro di pedesaan sangat besar. Masih banyak uang menganggur di pedesaan dan disisi lain, banyak pula calon-calon pengusaha atau orang yang mempunyai jiwa wirausaha namun tidak mempunyai modal dan kurang dapat akses ke perbankan.


KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :


1. Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, antara lain dengan memperluas akses Usaha Kecil dan Mikro (UKM) dalam mendapatkan fasilitas permodalan yang tidak hanya bersumber dari lembaga keuangan formal tapi juga dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM),


2. LKM ternyata mampu memberikan berbagai jenis pembiayaan kepada UKM walaupun tidak sebesar lembaga keuangan formal, sehingga dapat menjadi alternatif pembiayaan yang cukup potensial mengingat sebagian besar pelaku UKM belum memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan,


3. Potensi yang cukup besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena LKM masih menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan antara lain Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: aspek kelembagaan yang tumpang tindih, keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan LKM dan kecukupan modal,


4. Upaya untuk menguatkan dan mengembangkan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional, diantaranya yang mendesak adalah menuntaskan RUU tentang LKM agar terdapat kejelasan dalam pengembangan LKM. Serta komitmen pemerintah dalam memperkuat UKM sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengembangan LKM


DAFTAR PUSTAKA


Darwin (Penyunting), Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah, Pusat Penelitian Ekonomi – LIPI, Jakarta, 2003.


Didin Wahyudin, Key Succes Factors In MicroFinancing, paper pada Diskusi Panel Microfinance Revolution: “Future Perspective for Indonesian Market”, Jakarta, 7 Desember 2004.


Nopirin, Ekonomi Moneter, Penerbit BPFE-Yogyakarta, 1990.


Marquerite S. Robinson, 1993, Beberapa Strategi yang Berhasil Untuk Mengembangkan Bank Pedesaan: Pengalaman dengan Bank Rakyat Indonesia 1970 – 1990, dalam Bunga Rampai Pembiayaan Pertanian Pedesaan, Sugianto (Ed.), Penerbit Institut Bankir Indonesia, Jakarta.


Michael P. Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Terjemahan, Edisi Ketujuh, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2000.


Rudjito, 2003, Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna Menggerakkkan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan: Studi Kasus Bank Rakyat Indonesia, Jurnal Keuangan Rakyat Tahun II, Nomor 1, Maret 2003, Jogjakarta 



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "PERAN BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM MENINGKATKAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT"

Posting Komentar